MANUS.ID Opini -- Hidup ini adalah suatu fakta sosial antropologis dari beragam entitas, yang bergerak berpindah-pindah secara bebas, namun saling terhubung, saling menopang, saling menguatkan, saling memberi dan mengambil,
Artinya belum ada pagar pembatas kehidupan, sampai lahirnya etika, norma yang menjadi landasan peradaban manusia.
Dalam perkembangan peradaban manusia selanjutnya, ketika relasi kehidupan itu semakin saling membutuhkan ditengah keterbatsan norma yang menjadi piranti sosial,
maka kehidupan itu menjadi terkotak-kotak, menjadi berbeda, menjadi kelompok-kelompokidentitas yang sangat fanatis dengan ragam perbedaan itu.
Demikian pula, dari perspektif agama, dalam menyikapi dinamika sosial sebagai efek perkembangan peradaban, ketika norma spritualitas turun menjadi klaim-klaim kebenaran yg saling menjatuhkan, saling menyalahkan, bahkan saling mengkafirkan.
Dengan begitu, kehidupan agama menjadi parokial, sektarian, bahkan menjadi alasan orang mencaci dan saling menginjak.
Kitab suci menjadi alat permainan logika akal yang jauh dari logika mantik dan tafsir sesungguhnya tentang kebenaran yang menjadi lorong panjang perjalanan sebuah kehidupan.
Kesadaran keagamaan yang utuh, yang saling menghubungkan, saling menguatkan, saling menyatukan manusia didalamperbedaan dan kepentingan menjadi hilang.
Sehingga pada akhirnya keragaman entitas hidup menjadi masalah dan bahkan menjadi akar konflik sosial pada masyarakt modern saat ini.
Realitas epistemologis inilah yg patut menjadi perhatian bagi kita dalam menjaga keragaman kehidupan ini, agar setiap perubahan peradaban tidak menjadi racun keragaman
Apalagi ketika kehidupan yang ragam entitas ini dilihat dari perspektif politik praktis yang hanya melihat dan memperjuangkan sisi elektabilitas semata, sebagai mozaik demokrasi electoral, demokrasi yang plutokrasi bukan meritokrasi, maka upaya menghalalkan segala cara selalu menjadi landasan pembenaran para aktor politik,
Dan para pialang politik yang merupakan Perpanjangan tangan kelompok oligarki kekuasaan yang tiranis dan rakus harta karun kehidupan.
Sejatinya dalam politik praktis tidak ada yg lebih suci dari kesucian itu sendiri, tidak ada yg lebih benar dari kebenaran itu sendiri, tidak ada yg lebih baik dari kebaikan itu sendiri, namun, sering kepentingan pragmatislah yang memutarbalikkan arah dan tujuan kehidupan sesungguhnya.
Dengan demikian ketika kepentingan politik electoral yang lebih dominan maka akan mengancam keutuhan dan kedamaian sosial kita sebagai bangsa yang ber-adab.
Penulis : Arianto Kadir (Generasi Harapan Pelanjut Amanah Papua)
Editor : Redaksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar