(Oleh: Viktor Mori Somba – Aktivis asal Manggarai)
Peristiwa pengusiran anggota DPR RI, Benny K Harman (BKH), dari ruangan ber-AC di restoran Mai Cenggo viral dalam dua hari terakhir ini. Pelbagai media sosial seperti Facebook dan Whatsapp serta media konvensional seperti televisi, surat kabar, dan media-media online ikut membahasnya. Diskusi paling seru terjadi di group-group Whatsapp. Di Group-group Whatsapp, sekalipun diskusi sempat tertutup oleh berita dan pesan lain, topik pengusiran itu pasti muncul lagi dan ditanggapi lagi. Berita-berita yang terkait seputar peristiwa itu di-share untuk menambah referensi dan juga sebagai alat pembenar. Potongan berita Metro-TV tentang peristiwa tersebut, dishare ke hampir semua group Whatsapp.
Dengungan makin bergema ketika media-media
nasional ikut meniupkan angin ke dalam ‘bara api’. Hanya dalam hitungan jam saja
lawyer-lawyer berebutan membela, pikirnya ‘daging ini terlalu empuk’. Tak ketinggalan,
para pegiat politik langsung melabeli konflik ini dalam dikotomi elit vs rakyat
jelata.
Apa Sesungguhnya yang Terjadi?
Peristiwa bermula ketika politisi kondang asal
NTT, Benny K Harman dan keluarga masuk ke restoran Mai Cenggo di Jalan Alo Tanis-
Labuan Bajo, pada Selasa (24/5/2022) sekitar jam 12.30. Begitu memasuki
restoran, politisi Partai Demokrat dan keluarga diarahkan ke lantai bawah ke
dalam ruangan VIP ber-AC. Anggota DPR-RI empat periode mewakili NTT di Senayan
itu memilih tempat/meja dari sekian meja yang tersedia. Tidak ada kode atau
tanda apapun di atas atau di samping semua meja yang tersedia yang menunjukkan
bahwa tempat itu sudah direservasi. Reservasi adalah pemesanan tempat/meja untuk seseorang atau beberapa
orang untuk durasi waktu tertentu. Mantan ketua Komisi III DPR RI dan
keluarganya itu kemudian duduk dan pesan makan. Petugas restoran mencatat apa yang mereka pesan dan
memberitahukan kepada mereka bahwa pesanan diproses dan petugas siap untuk
melayani. Sekitar 15 menit menunggu pesanan, tiba-tiba seorang karyawan hotel
bernama Rikardo tanpa basa-basi meminta Benny K Harman dan keluarganya untuk
meninggalkan ruangan VIP ber-AC. Alasannya karena ruangan itu sudah
direservasi.
Sampai di sini kita menyimak beberapa
point. Pertama, restoran Mai Cenggo memberikan layanan palsu kepada
pengunjung. Restoran menampilkan etalase mewah dan memberikan beberapa opsi
kepada pengunjung untuk memilih. Pengunjung dari ekonomi kelas atas cendrung
memilih ruang terbaik, VIP ber-AC. Pihak restoran pun memberikan kesan baik
kepada pengunjung dengan cara ikut bermain dalam selera pengunjung. Mereka
mengikuti selera pengunjung untuk beberapa waktu, dan setelah pengunjung merasa
‘adem’, pihak restoran kemudian mencampakkan pengunjung ke tempat lain. Pihak
restoran ‘memaksa’ pengunjungnya untuk mengikuti apa yang tidak bisa
ditolaknya. Pengunjung dibujuk untuk memesan makanan, dan meskipun kemudian
pengunjung diperlakukan tidak patut, pihak restoran berharap agar makanan yang
sudah dipesan hendaknya dimakan dan absolutely harus dibayar.
Kedua, pihak restoran bertindak diskriminatif terhadap
pengunjung. Layanan professional di
mana-mana selalu mendahulukan pengunjung yang datang lebih awal daripada yang
datang kemudian. Prinsip etika layanan publik juga mewajibkan untuk melayani
yang datang duluan daripada yang datang kemudian. Pelayan harus menghargai
spare waktu, energi, dan upaya dari masing-masing pengunjung hingga tiba di
tempat itu. Tapi apa yang terjadi di restoran Mai Cenggo, konsumen yang datang
kemudian didahulukan, termasuk dengan cara menggeser konsumen yang sudah mereka
siapkan tempat. Pihak restoran cendrung mengikuti teks Kitab Suci (Matius
19:30) “…tetapi banyak orang
yang terdahulu akan menjadi yang terkemudian, dan orang yang terkemudian itu
akan menjadi yang terdahulu”. Orang yang pertama datang akan menjadi yang
terkemudian, dan yang datang kemudian akan menjadi yang pertama. Pihak restoran
lupa bahwa layanan yang dia tunjukkan adalah untuk orang-orang yang hidup di
dunia saat ini dan sekarang ini.
Seharusnya pihak restoran tidak boleh memaksa pengunjung untuk
menghayati hidup saleh, mudah mengalah, dan membiarkan tempat yang sudah
didapat dengan pengorbanan, lalu diberikan kepada orang yang booking kemudian.
Dalam etika layanan publik, tindakan
mendahulukan yang kemudian adalah tindakan diskriminatif. Lebih menyakitkan
lagi, diskriminasi dilakukan atas dasar tampilan busana. Orang yang datang
dengan baju kaos, celana pendek, dan lusuh dinilai kurang eye catching dibandingkan
dengan yang datang dengan pakaian neces.
Ketiga, perlakuan diskriminatif menempatkan restoran sebagai arena konflik.
Konflik dapat terjadi antara pengunjung dengan pengunjung karena merebut tempat
yang persediannya terbatas. Dalam kondisi konfliktual seperti ini pihak
restoran bisa tampail sebagai ‘juru damai’ yang menyenangkan satu pihak dan
menyakitkan pihak lain. Konflik juga bisa terjadi antara semua pengunjung
melawan pihak restoran yang inkompeten dan bad management. Dalam konteks
pemikiran Karl Marx, semua pihak yang diperlakukan tidak adil, akan bersatu
melawan pelaku ketidakadilan.
Apa Reaksi Pengunjung atas Managemen yang Buruk?
Dalam keterangan pers yang disampaikan di Labuan
Bajo, 25 Mei 2022, Benny K Harman mengatakan seperti ini, “Karena merasa diperlakukan secara tidak wajar, kami
bermaksud bertemu dengan Manager Resto atau pemilik resto, apa sebenarnya yg
terjadi. Kami beritahu karyawan yang melayani untuk beritahu manager atau
pemilik bahwa kami ingin bertemu agar tidak terjadi salah paham. Karena lama
menunggu, kami datangi lagi pihak front desk dan meminta agar kami bisa bertemu
dengan pihak manager atau pemilik. Di
front desk itu kami menerima informasi bahwa tamu barusan reservasi per telepon
setelah kami sekeluarga datang ke tempat itu. Sehingga kami makin merasa bahwa
kami diperlakukan semena-mena”.
BKH memilih untuk menyelesaikan
masalah secara elegan. Dia tidak mau berurusan dengan karyawan yang hanya
menjalankan perintah. Dia mau bertemu dengan pihak yang memberikan perintah
agar tidak terjadi mispersepsi, dan masalah bisa diselesaikan lebih clear dan
tuntas. Perempuan yang duduk front desk tampaknya pasif saja ketika pengunjung
menyampaikan keluhannya. Sekalipun perempuan itu menjawab “managernya lagi ada
di Denpasar/Bali” saat BKH tanya, namun sikapnya benar-benar tidak menunjukkan hospitalitasnya.
Keterbukaan dan keramahan yang melekat secara inheren di dalam diri seorang
pelayan, sama sekali tidak terlihat dalam diri perempuan yang di front desk.
Di Jepang, ketika ada tamu yang
menyampaikan keluhannya, si pelayan langsung menyatakan maaf, disertai sikap
berdiri dan setengah membungkuk. Di Bali dan Jawa juga pada umumnya seperti
itu, pihak restoran langsung minta maaf apabila layanan kurang menyenangkan. Sikap
minim respek seperti itu merupakan tegangan kedua. Tegangan pertama ketika
diusir secara semena-mena dari ruangan VIP ber-AC.
BKH tanya kepada karyawan Resto Mai
Cenggo, siapa yang menyuruhnya mengeluarkan BKH dan keluarga dari ruangan, dan
apa alasannya. Karyawan tersebut juga tidak menjawab pertanyaan BKH. Tidak bisa
menjawab dapat ditafsirkan sebagai sikap apatis dan tidak mau peduli. Ketidakpedulian
berlanjut ketika pihak restoran juga tidak berniat menghubungi managernya yang
di Bali supaya masalahnya bisa clear. Mereka memiliki media untuk
menghubungi tapi mereka tidak mau memanfaatkannya.
Apa yang perlu Dilakukan?
Akumulasi pengusiran di atas
berunjung pada apa yang disebut media sebagai dugaan penamparan oleh BKH. Dalam keterangan pers di Labuan Bajo, 25 Mei 2022, BKH mengatakan seperti ini “saya mendorong mukanya si
karyawan dan mengingatkan agar perlakuan terhadap pengunjung harus sopan dan
santun”.
Begini nasihat bijak yang dikemukakan
Don Corleone (The Godfather), “kekerasan adalah opsi terakhir”. Ketika opsi bertemu manager tidak dilakukan,
opsi mendapatkan penjelasan melalui bertanya tapi tidak dijawab, serta menutup
opsi menelpon manager, maka munculah opsi mendorong muka. Di atas opsi ini
lahirlah opsi lapor ke polisi, “hambor (damai)”, dan penyelesaian secara
kekeluargaan.
Penutup
Peristiwa pengusiran pengunjung yang
terjadi di Restoran Mai Cenggo hendaknya menjadi peringatan kepada semua
pemilik resto di Labuan bajo agar selalu bersikap santun kepada semua
pengunjung. Labuan Bajo telah ditetapkan menjadi destinasi pariwisata super
premium, oleh sebab itu, model pelayanannya harus disesuaikan dengan standard yang
lebih beradab.