(Oleh: Margarita D.
I. Ottu, S.Pd.,M.Pd.K)
“Apa
Yang Penting Bagi Anak, Menjadi Penting Bagi Kita” merupakan suatu ungkapan
sarat makna yang menjadi refleksi bagi semua elemen dalam menyikapi tingginya angka
kekerasan terhadap anak.
Pada
era revolusi industri, sangat terasa saat-saat kritis, berbagai nilai-nilai
sedang mengalami pergeseran, kita berada dalam dua tarikan yaitu globalisasi
pada satu sisi dan arus primordialisme pada sisi lain, kedua tarikan arus ini
dapat menimbulkan permusuhan dan perselisihan dan dapat pula terjadi kekerasan.
Kekerasan
(Ing. violence, dari Lat. violare "memakai kekuatan")
artinya pemakaian kekuatan untuk melukai, membahayakan, merusak harta benda
atau orang secara fisik maupun psikis. Secara filosofis, fenomena kekerasan
merupakan sebuah gejala kemunduran hubungan antar pribadi, dimana orang tidak
lagi bisa duduk bersama untuk memecahkan masalah. Hubungan yang ada hanya
diwarnai dengan ketertutupan, kecurigaan, dan ketidak percayaan serta tidak ada
dialog, apalagi kasih.
Semangat
mematikan lebih besar daripada semangat menghidupkan, semangat mencelakakan
lebih besar daripada semangat melindungi. Fenomena ini sebagai bukti krisis
nilai sungguh-sungguh mengancam hidup manusia, bahkan sekarang ini secara
bertahap sedang berlangsung proses pengikisan nilai-nilai terdalam dari cinta
kasih dari kehidupan karena proses hedonisme, komsumerisme, nafsu akan uang dan
kekuasaan, kurangnya respek terhadap hidup serta semua jenis materialisme.
Dampak pengikisan nilai-nilai akan memunculkan peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan masalah moralitas seperti kekerasan, pelecehan, pertikaian, konflik,
permusuhan, Dalam situasi demikian, keluarga sebagai komunitas inti dan vital
dan paling kecil merupakan tempat penanaman, persemaian cita-cita,
persaudaraan, nilai-nilai kristiani dikembangkan secara optimal sehingga
membentuk karakter Kristen pada diri anak sejak dini.
Anak
merupakan pribadi yang rapuh sehingga ia hanya dapat bertahan ketika ada orang
lain yang mengasuh dan memeliharanya. Penerimaan, kasih, dan perlindungan dari
orang tua dan orang-orang yang berada di sekitarnya merupakan kebutuhan utama
bagi anak-anak. Namun realita yang terjadi, tidak semua mendapatkan apa yang
mereka butuhkan. Ada begitu banyak anak yang tertolak, terbuang, dan bahkan
tidak diinginkan oleh orang tuanya sendiri.
Persoalan
yang dihadapi oleh anak-anak yang tidak diinginkan menjadi fokus subjek yang
dilihat melalui pandangan masyarakat dan yang terutama dari perspektif
teologis.
Jika
ditinjau dari pandangan masyarakat dan
sosial maka nilai anak diterjemahkan sebagai kepuasan psikologi yang anak
berikan kepada orang tua. Hal Ini menunjukkan bahwa seorang anak berharga
ketika ia memberikan sesuatu yang baik dalam keluarga dan masyarakat.
Hoffman
menerjemahkannya ke dalam tujuh nilai, yaitu primary group ties and affection (pengikat
keluarga yang utama), stimulation and fun (pendorong dan kegembiraan),
expansion of the self (pengembangan diri), adult status and social
identity (status dan identitas sosial), achievement and creativity (pencapaian
dan kreatifitas), morality (moralitas), economic utulity (nilai
ekonomi). Ketujuh nilai anak ini menunjukkan bahwa anak berharga. Tetapi
di sisi yang lain, masih banyak anak yang tertolak. Ketika nilai anak dalam
masyarakat dan keluarga hanya berlaku bagi anak-anak “normal”, maka anak yang
tidak diinginkan tidak mendapat tempat dan penghargaan. Dalam kondisi yang
dianggap masyarakat tidak berharga.
Theology
of Childhood merupakan sebuah pandangan teologi yang menempatkan anak
sebagai pribadi yang berharga pada dirinya sendiri. Dalam kisah Yesus
memberkati anak - anak yang tertulis dalam semua Injil Sinoptik, Yesus
mengajarkan tiga hal mengenai anak yaitu, anak sebagai pewaris kerajaan Allah,
anak sebagai model untuk masuk ke dalam kerajaan Allah, dan anak sebagai
representasi kehadiran Yesus. Pada masa dimana anak merupakan posisi yang
rendah dalam struktur masyarakat, Injil menggambarkan Yesus yang memberkati,
menyambut, dan menyentuh mereka. Ketiga hal ini mengacu pada nilai anak yang
berharga pada dirinya sendiri.
Gereja,
yang mengakui dirinya sebagai komunitas iman dalam Kristus Yesus, seharusnya mengikuti
pandangan Yesus dalam menempatkan anak sebagai yang berharga. Dalam hal ini,
gereja dapat menjalankan tugas profetiknya sebagai tempat pendidikan dan tempat
perlindungan bagi anak-anak.
Konteks
dalam Matius 18:1-5 ialah Kerajaan Sorga. Masalah dalam perikop ini muncul
ketika para murid bertanya mengenai siapakah yang terbesar dalam kerajaan
sorga. Jawaban Yesus sesungguhnya bukan saja menjawab pertanyaan mereka, namun
juga memberikan pengertian yang benar tentang apa yang seharusnya dilakukan dan
dimiliki sebagai warga kerajaan Sorga.
Tugas
utama teologi anak adalah membuat koreksi terhadap teologi-teologi yang tidak
menempatkan anak-anak dalam pusat refleksi dan perumusan teologisnya. Pada
gilirannya koreksi ini juga menjanjikan
pemahaman baru terhadap teologi dan praktek Kristen secara umum. Jadi anak
dijadikan Yesus gambaran untuk memberikan pengajaran kepada murid dengan
menempatkan anak-anak di tengah-tengah orang dewasa untuk menjelaskan tentang
yang terbesar dalam kerajaan surga.
Anak
sebagai Agen Allah secara nyata ketika Yesus membuat pernyataan-pernyataan
teologis yang penting dengan anak-anak di tengah murid-murid-Nya atau bahkan
dalam gendongan-Nya. Pernyataan yang ditemukan dalam Injil Sinoptik, intinya
bukanlah mendesak orang dewasa untuk memperhatikan dan mengajar (atau
meninggikan) anak-anak. Pernyataan-pernyataan itu pada dasarnya merupakan
segi-segi penting teologi Kristen yakni Kerajaan Allah; kebesaran dan
kerendahan hati; perubahan yang diperlukan untuk masuk dalam kerajaan Allah.
Theology
of Childhood yang menilai anak berharga pada dirinya sendiri kemudian
dilihat dalam konteks anak yang tidak diinginkan. Ketika keluarga dan
masyarakat menolak seorang anak karena keterbatasannya, apakah seorang anak
masih dianggap berharga bagi Allah?
Theology
of Childhood berbicara mengenai betapa berharganya kehidupan setiap anak,
juga dalam konteks anak yang tidak diinginkan. Yesus menyambut dan menerima
mereka dalam pelukanNya dan memberkati mereka. Dalam segala persoalan yang
dihadapi oleh anak-anak yang tidak diinginkan, Theology of Childhood
mengajak dan memanggil manusia untuk mengulurkan tangan bagi setiap anak yang
rentan dan lemah karena mereka tidak diinginkan. Tidak ada alasan lain menerima
anak-anak yang terbuang, selain karena mereka berharga bagi Allah. Nilai anak
dalam Theology of Childhood bukan nilai instrumental, melainkan nilai
intrinsik, yaitu berharga pada dirinya sendiri karena mereka adalah gambar
Allah sendiri.
Walaupun
anak-anak dianggap sebagai pribadi yang berharga di mata Tuhan, penindasan dan
kekerasan tetap menjadi kenyataan yang dihadapi oleh sebagian anak-anak di
seluruh dunia. Ini menunjukkan bahwa pandangan mengenai nilai anak yang sejati
belum sepenuhnya dipahami oleh orang dewasa. Sebagai pengikut Yesus, gereja
memiliki peran penting dalam memberikan respon terhadap penolakan yang dialami
oleh anak-anak sebagai respon iman kepada Yesus yang merangkul orang yang
terpinggirkan. Melalui pemahaman Theology of Childhood yang lebih
mendalam, gereja diharapkan mampu menjadi sebuah role model yang
menghargai, menilai, menerima, dan melindungi anak-anak. Posisi egaliter antara
anak dengan orang dewasa tidak dipahami dalam arti kesamaan perlakuan dalam
hidup bergereja, melainkan nilai keberhargaan yang sama dalam diri setiap
orang. Anak dan orang dewasa dihargai sebagaimana diri mereka, yaitu dalam
keberadaanya menjadi anak dan menjadi orang dewasa.
Hal
yang berkesan ketika membicarakan pesan Alkitab tentang anak adalah romantisasi
kasih Allah pada anak. Anak menjadi perhatian dan kepedulian Allah agar
kelangsungan ciptaan secara khusus manusia sebagai ciptaan yang segambar
diri-Nya berkelanjutan. Kepada umat pilihan Israel dan sampai masa perjanjian
lama, Allah menunjukkan perhatian kepada anak dengan bentuk 1) Pemeliharaan
yaitu Pemeliharaan Allah kepada anak, ditunjukkan melalui perintahnya kepada
umat Israel, yaitu dalam Imamat 19:9-10; Ulangan24:19-22; 14:22-28; 26:12-13.
Allah menunjukkan pemeliharaannya kepada orang yang lemah dan susah, seperti
orang asing, janda dan anak yatim. Selain pemeliharaan juga menunjukkan
perlindungan-Nya; 2) Pembelaan yaitu Perhatian Allah yang melarang tindak
kekerasan terhadap anak (Keluaran22:22-23; 12:29-31). Berbagai seruan untuk
bertobat, antara lain bertobat dari pengingkaran hak-hak anak yatim
(Yesaya1:17; 10:1-2) dan hukuman yang tidak tanggung-tanggung bagi yang
melanggarnya. Dalam Perjanjian Baru Yesus menunjukkan pembelaannya kepada anak
saat mengajarkan kepada murid-murid untuk menjelaskan tentang yang terbesar
dalam kerajaan surga, Ia melanjutkan pengajaran dengan hal penyesatan (Matius
18:6); 3) Kepedulian. Mazmur 82:1-4 mungkin merupakan petunjuk paling kuat
tentang kepedulian Allah pada anak, khususnya mereka yang kurang beruntung dan
dalam ancaman perlakuan salah, kekerasan, dan eksploitasi.
Seruan
Allah untuk memberi keadilan dilakukan dalam “sidang Ilahi” artinya,
pemerintahan Allah mempunyai agenda kepedulian Anak. Yesus juga memberi
kepedulian kepada anak, ketika murid-murid memarahi orang tua yang membawa
anak-anak dengan berkata: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan
menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya
Kerajaan Allah” (Markus 10:14). Ini menunjukkan Allah sangat peduli untuk
membela anak-anak karena anak adalah lemah. Anak merupakan bagian integral
dalam harapan masa depan. Zakaria melihat jalan-jalan kota sebagai tempat yang
aman dan menggembirakan bagi anak-anak untuk bermain, bersosialisasi, dan
berkembang. Dalam Zakaria 8:3-5 dituliskan “Berfirmanlah Tuhan semesta alam:
akan ada lagi kakek-kakek dan nenek-nenek duduk di jalan-jalan Yerusalem,
masing- masing memegang tongkat karena lanjut usianya. Dan jalan-jalan kota itu
akan penuh dengan laki-laki dan perempuan yang bermain di situ.”
Pandangan
Kristen tentang anak dapat dikatakan unik karena anak tidak saja mendapat
tempat penting bahkan sentral secara sosiologis dan soteriologis dalam
kehidupan masa kini tetapi juga tempat pada kehidupan eskatologis. Firman Tuhan
dengan jelas dan tegas telah menunjukkan pemeliharaan, pembelaan, kepedulian
dan perlindungan kepada kaum lemah dalam hal ini anak.
Theology
of Childhood yang menilai setiap anak berharga mengajak setiap orang untuk
menghargai kehidupan dan memperjuangkan kehidupan yang lebih baik, keluarga
adalah tempat pertama dibentuknya iman anak, Gereja memiliki tanggung jawab
untuk membangun keberanian iman dan mempersiapkan anak untuk menjadi agen misi
Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar