Oleh: Margarita D. I. Ottu, S.Pd.,M.Pd.K
Suatu perspektif Uab Meto adalah warisan budaya Atoin Meto.
Bahasa telah melekat mengiringi kehidupan manusia dan seiring
perkembangan zaman menuju dunia global, teknologipun semakin maju, apalagi di era
Revolusi Industri 4.0 ini ditandai dengan pola digital economy, artificial intelligence, big data, robotic dan
perkembangan lain dari manual menjadi serba digital yang semuanya ini dikenal
dengan fenomena disruptive innovation.
Revolusi Industri melibatkan system siber fisik dan
melampaui sekedar otomatisasi dan komputerisasi. Kemajuan teknologi memasuki
era digital ini berdampak pula pada komunikasi manusia yang menggunakan bahasa
sebagai medianya dan media sosialpun turut meramaikan era disruptif teknologi
ini.
Mencermati bahasa yang kerap digunakan dalam media
sosial, seperti Facebook, Twitter, WhatsApp dan di tempat-tempat umum, tempat
wisata berupa ungkapan instruksi, pemberitahuan, larangan, pesan, pengumuman,
iklan dan lain sebagainya setidaknya telah membuka pemikiran kita tentang arti
pentingnya moralitas bahasa yaitu bagaimana cara penggunaan bahasa itu
tersampaikan, sikap berbahasa dan estetika bahasanya.
Moral bahasa menjadi sangat penting dalam pranata
sosio-kultural masyarakat. Banyak versi bahasa yang digunakan dalam media
social (sosmed) yang begitu memaksakan kata-katanya yang cenderung bermakna
kasar. “saling serang” menggunakan bahasa sering terjadi dalam komunikasi
jejaring sosial.
Gaya bahasa sarkasmepun sering terlontar menyambut lawan
bicara di dunia maya. Hal ini menjadi pemicu hilangnya kesantunan berbahasa
yang sering tidak dipedulikan oleh pengguna bahasa. Bahasa menjunjung etika
budaya dan kesopan santunan dalam bahasa sebagai warisan budaya. Sesungguhnya
bahasa memiliki kemampuan untuk meningkatkan kemampuan manusia sampai pada
titik homo humanus yakni manusia berbahasa dengan halus, mempunyai rasa
kemanusiaan dan berbudaya. Menghadapi situasi tersebut, bagaimanakah kedudukan
Bahasa di Era Revolusi Industri 4.0 dan Disrupsi?
Sejarah globalisasi menunjukkan bahwa setiap perubahan
zaman memiliki core masing-masing
(penggeraknya) yang dipicu oleh perkembangan teknologi yang melahirkan era
revolusi industri 4.0 yang tidak hanya sekedar membuka interaksi secara luas
namun juga mendisrupi berbagai bidang kehidupan manusia seperti pendidikan,
pemerintahan, budaya, politik dan hukum. Sektor budayapun ikut terdisrupsi
(culture disruptive) dengan adanya perkembangan media sosial yang masif, telah
merekonstruksi struktur budaya masyarakat.
Perlindungan terhadap bahasa daerah didasarkan pada amanat
Pasal 32 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan ayat ini,
Negara memberi kesempatan dan keleluasaan kepada masyarakat untuk melestarikan
dan mengembangkan bahasanya sebagai bagian dari kebudayaannya masing-masing.
Selain itu, Negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia
dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya. Relasi sosial hubungan masyarakat kini lebih erat terbangun dalam
dunia maya sehingga hubungan dalam dunia nyata justru menjadi relatif serta adanya
kontak bahasa dan budaya yang tidak bisa terelakkan.
Oleh karena itu, perlunya kembali pembelajaran yang mengedepankan
menemukan nilai-nilai kearifan lokal melalui kegiatan pembelajaran. Pentingnya
mengintegrasikan pembelajaran kontekstual berbasis kearifan lokal. Perlunya
sebuah dokumen tertulis terkait profil budaya yang merupakan tindak lanjut dari
berbagai budaya lisan. Pentingnya seorang tenaga pendidik menemukan referensi terkait
kearifan lokal sehingga memudahkan dalam mengintegrasikan pada pembelajaran.
Kebijakan exoglossic
dan endoglossic memiliki pengaruhnya
masing-masing dan memiliki sisi positif dan sisi negatif. Di satu sisi exoglossic dibutuhkan dalam upaya
pengembangan satu Negara dalam menghadapi era global sedangkan kebijakan endoglossic berupaya untuk melindungi
bahasa pribumi atau bahasa lokal dari kepunahan sehingga dapat menghilangkan
identitas suatu Negara.
Terabaikannya pengutamaan bahasa daerah di ruang publik
seolah-olah menginformasikan bahwa sekat-sekat geografis Negara Indonesia
dengan Negara lain dan tanda-tanda kekhasan identitas bangsa ini telah runtuh.
Misalnya, di kalangan masyarakat terasa tidak asing lagi bentuk bahasa seperti e-money, e-banking, ucapan selamat
datang “welcome to…” dan lain
sebagainya yang seringkali ditemui.
Inilah tantangan terbesar
pada era revolusi industri 4.0 dan kondisi bahasa daerah saat ini cukup
mengkhawatirkan nyaris punah karena jumlah penutur yang menyusut dan berkurang,
bencana alam, kawin campur antar suku, letak geografis suatu daerah tidak
menguntungkan, dan sikap masyarakat yang negatif terhadap bahasa daerah. Di era
disrupsi, bahasa daerah dianggap hampir tersisihkan meskipun pada kenyataannya
bahasa daerah masih tetap digunakan di daerah masing-masing. Untuk dapat
menangani hal tersebut perlu kebijakan bahasa didelegasikan melalui sistem
pendidikan formal dan non formal, nasional ke pendidikan di tingkat regional
dan lokal.
Sebagai alat komunikasi, bahasa dari waktu ke waktu
mengalami perkembangan, oleh karena itu bahasa tidak akan pernah mati jika
penuturnya masih peduli dan cinta terhadap bahasa tersebut.
Bahasa sebagai bagian dari sarana pendukung ilmu dan
teknologi canggih dewasa ini, berkembang selaras dengan perkembangan ilmu dan
teknologi canggih itu sendiri. Hal ini memberikan dampak positif bagi
perkembangan bahasa, baik Bahasa Indonesia maupun Bahasa Daerah. Perkembangan
bahasa itu akan terus berlanjut dengan perkembangan budaya bangsa yang
memilikinya karena bahasa sebagai sarana pendukungnya. Itulah sebabnya di era
milenial sekarang ini, bahasa Indonesia dan bahasa daerah ikut pula di dalam
arena perkembangan dunia sekarang ini sehingga menjadi peluang untuk menerima
pengaruh perkembangan tersebut.
Kepunahan bahasa-bahasa daerah merupakan fenomena yang
perlu dicermati dan disikapi secara serius dan bijaksana. Tidak hanya
bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, Bahasa Daerah (Uab Meto) juga dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Pada saat
ini, kalaupun tidak mengarah pada kepunahan, Bahasa Daerah (Uab Meto) sudah mengalami proses
perubahan. Perubahan tersebut dapat dilihat pada pengurangan kosa kata. Kosa
kata klasik, misalnya telah tergantikan oleh kosa kata baru dan bahkan hilang
sama sekali. Bahasa Daerah (Uab Meto)
merupakan bahasa daerah yang memiliki kekayaan kosa kata, idiom, frase, tuturan
dan lainnya.
Salah satu penyebab dari permasalahan ini adalah faktor
alamiah dan non- alamiah. Faktor alamiah berupa bencana alam, pengaruh bahasa
mayoritas, komunitas bahasa yang bilingual atau multilingual, pengaruh
globalisasi, migrasi, perkawinan antar etnik tidak dapat dihindari, maka
kurangnya penghargaan terhadap bahasa daerah, minimnya intensitas pemakaian
bahasa daerah. Munculnya kosa kata baru sebagai
akibat dari proses asimilasi budaya tentunya perlu disikapi secara serius.
Generasi Z/Gen Z yaitu generasi yang
lahir pada antara tahun 1997 sampai dengan 2012 dan Secara sosial generasi Z yang
dibesarkan di era Revolusi Industri 4.0 memiliki
kecenderungan instan terhadap apa yang diinginkan, pemenuhan kebutuhan secara
cepat menjadi model layanan yang diagungkan. Di sisi kemudahan yang ditawarkan
oleh Revolusi Industri 4.0 menyimpan berbagai dampak negatif yang perlu
dicermati secara serius seperti ancaman pengangguran karena otomatisasi,
kerusakan alam akibat eksploitasi industri serta maraknya hoax karena mudahnya
penyebaran informasi, hilangnya interaksi kekerabatan secara konvensional
dengan hati tulus dan sebagainya. Generasi Z merupakan sebuah generasi yang berkembang
atau bertumbuh di tengah paparan internet, media sosial, dan teknologi. Generasi
ini dipandang sebagai generasi hiperkognitif, yang berarti berpikir sangat
cepat. Generasi Z adalah generasi yang membutuhkan banyak informasi dan
pembentukan jati diri. Munculnya fenomena profesi easymoney seperti influencer,
youtuber, menjadi penanda uniknya generasi ini.
Generasi Z merupakan
generasi yang bebas berekspresi dan memiliki perilaku yang unik diantaranya kurang
menyukai identitas, komunaholik, fasih dalam berbicara, serta sangat realistis.
Kurang menyukai identitas berarti tidak suka mendefinisikan dirinya dalam satu
bentuk, komunaholik berarti sangat menyukai kehidupan berkelompok yang saling
terkoneksi.
Kearifan lokal yang
sanggup bertahan dengan adanya budaya luar, mampu mengakomodasi budaya luar,
berkemampuan mengendalikan.
Sebagai contoh, mempertahankan budaya di
Kabupaten Timor Tengah Selatan melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan telah menyelenggarakan
lomba cerita rakyat dalam Uab Meto jenjang SD, SMP yang menjadi moment
bermartabat dan pertama kalinya yang cukup menarik perhatian para siswa dan
pecinta budaya. Hal ini menunjukkan adanya atensi positif generasi Z dalam
mencintai budaya.
Sebagai saran, khususnya di lembaga
pendidikan dapat menerapkan program satu hari berbahasa daerah, penyelenggaraan
kegiatan kebudayaan seperti lomba cerita rakyat, cerita Alkitab, lomba khotbah
menggunakan Uab Meto, lomba menyanyikan lagu-lagu daerah, lomba fashion
show disertai penjelasan assesoris yang dikenakan, lomba cipta menu
berbahan dasar makanan lokal dan penjelasan menggunakan Uab Meto, lomba
Bonet, lomba Natoni, dan lain sebagainya.
Kekayaan budaya serta keragaman adat
istiadat tersebut merupakan pengetahuan luhur yang terus diwariskan dari
generasi ke generasi berikutnya. Pengetahuan yang lahir dari pengalaman generasi
terdahulu dalam kaitannya dengan budaya, alam, dan lingkungan dapat menjadi
salah satu sumber dalam pembelajaran kontekstual berbasis kearifan lokal yang
bermanfaat untuk mempertahankan dan melestarikan warisan budaya dan sebagai
wujud mencibtai budaya sendiri.
Bahasa Daerah (Uab
Meto) merupakan bahasa pertama atau bahasa ibu bagi orang Timor (Atoin Meto) namun seiring dengan
perkembangan arus globalisasi dan pendidikan yang semakin maju maka orang Timor
(Atoin Meto) lebih mengadopsi dan
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Pernyataan tersebut dapat
ditemui di kalangan generasi muda dalam komunikasi sehari-hari yang jarang
menggunakan bahasa Daerah (Uab Meto),
maka sangat mungkin bahwa Uab Meto
akan semakin memudar bahkan akan punah. Kondisi seperti ini perlu diwaspadai
agar tidak berakibat pada matinya bahasa tersebut.
Sungguh menjadi tantangan terbesar bagi berbagai elemen
bagaimana mempertahankan tanpa terdisrupsi oleh zaman. Bagaimana pola bimbingan
bagi generasi Z untuk tetap mengemban budaya sebagai salah satu kearifan lokal,
tanpa harus memaksa mereka keluar dari koridor generasi yang mereka emban.
Pemerintah sebagai fasilitator diharapkan mampu menjadi
jembatan penghubung supaya kearifan lokal tidak akan pernah luntur dan
terdistraksi zaman.
Bahasa adalah jati diri penuturnya. Uab Meto adalah warisan budaya Atoin
Meto yang berperan sebagai sarana komunikasi di era revolusi industri bagi
generasi Z yang mencerminkan jati diri penuturnya karena itu, lindungi dan
lestarikan Uab Meto dari fenomena
disrupsi budaya. Salam Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar