Maafkan, Jika Aku Merindu - SOE POST

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Jumat, 02 Juni 2023

Maafkan, Jika Aku Merindu



Penulis; Elfrida  Kerek


Mentari sore itu mulai perlahan berwarna kemerahan dan hari pun mulai perlahan menuju gelap. Namun sebelum hari menjumpai kegelapan ada sesuatu yang disebut remang–remang. Ya… dalam remang–remang sore itu Dinda  harus terburu – buru mengemasi semua peralatan kantornya dan harus segera pulang. Ia harus segera tiba di rumah. Semua orang rumah pasti sudah menunggunya.



Sore ini adalah sore yang begitu penting bagi keluarga Dinda dan mungkin juga untuk Dinda. Tapi jujur saja, sesungguhnya Dinda merasa tidak ada yang spesial di sore ini. Sore ini akan terjadi pertemuan keluarga antara keluarga Dinda dan keluarga Arif. Mungkin juga bisa disebut acara lamaran. Arif adalah lelaki yang dekat dengan Dinda hampir setahun ini, tapi Arif dan Dinda sudah saling mengenal sejak lama karena mereka tinggal satu kompleks. Dinda adalah gadis yang usianya sudah tidak muda lagi menurut ke dua orang tuanya, oleh sebab itu dalam hal jodoh terpaksa Orang tua Dinda harus turun tangan dan Ariflah yang dipilih oleh Orang tua Dinda untuk menjadi calon suami Dinda. Bagi Pribadi Dinda arif adalah laki – laki yang baik. Hanya sebatas itu. Tidak ada sesuatu yang menjadi point lebih dari pribadi Arif untuk Dinda. Terkadang Dinda pun bingung dengan kedekatan dan kebersamaan mereka, karena sesungguhnya Arif benar – benar belum menyentuh hati Dinda. Lamaran ini terjadi hanya karena Dinda tidak ingin mengecewakan ke dua Orang tuanya.



“Din….Pak Martin memanggil mu di ruangannya”

“Ooo…iya Pak.” Jawab Dinda. Segera Dinda bergegas ke ruangan Pak Martin. Atasannya itu. 

Dinda mengetuk Pintu.

“Masuk.” Jawab suara dari dalam ruangan. Dinda lalu memasuki ruangan itu.

“Sudah mau pulang Din?” Tanya Pak Martin karena melihat Dinda sudah lengkap dengan tas dan helm di tangannya.

“Iya Pak.” Jawab Dinda sedikit malu – malu. Takutnya masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan.

“Maaf, saya minta waktunya 10 menit, bisa?”

“Ooo..iya…bisa Pak.”

“Silahkan duduk.” Dinda lalu duduk di sofa ruangan Pak Martin.

“Jadi gini Din, mulai besok akan ada staf baru di bagian kita tapi dia menggantikan posisi Pak Juna yang kemarin dimutasi. Jadi otomatis dia akan menjadi atasan langsung kamu, sebelum kamu berurusan dengan saya. Beliau pindahan dari kantor unit kita. Dan karena besok beliau sudah harus masuk dan bekerja di sini, ada baiknya sebelum kamu pulang hari ini, kamu sudah berkenalan dengan beliau. Supaya besok kamu tidak canggung lagi.” Jelas Pak Martin. Baru saja Dinda hendak menjawab penjelasan dari Pak Martin, tiba – tiba bunyi ketukan pintu terdengar….

“Nah… itu pasti orangnya…. Masuk!” kata Pak Martin.

“Selamat sore Pak, maaf terlambat.”

Dinda mendengar suara itu, tanpa melihat sang pemilik suara, tapi sepertinya suara ini begitu sangat tidak asing….tapi lama tak terdengar……

“Siapa ya…” Dinda sempat membatin sebelum ia menoleh untuk melihat sosok itu.

“Din…kenalkan ini Pak Rinto. Orang yang tadi saya ceritakan.”

“Dinda” Dinda mengucapkan namanya sambil mengulurkan tangannya tanda sebuah perkenalan dan Rinto pun membalasnya.

“Rinto” sambil berjabat dan tersenyum pada Dinda. 

“Siapa yaaa…seperti tidak asing…. Tapi aaahh…. Sudahlah… mungkin perasaan aku saja….” Dinda membatin sambil terus melangkah pulang.


Satu jam kemudian Dinda sudah berada di rumahnya. Seperti yang diduga, semua keluarga Dinda sudah siap untuk acara ini. Dinda segera mandi dan bersiap – siap.

“Dandan yang cantik Diiin…”sesekali keluarganya bergurau. Suasana sore itu begitu hangat.

Selesai bersiap – siap, Dinda keluar dari kamarnya. Ia terlihat sangat cantik dengan gaun berwarna merah jambu., dengan rambutnya yang panjang dan sedikit ikal, dibiarkannya terurai. Polesan make-up yang tidak mencolok benar – benar sepadan dengan karakter Dinda yang sederhana. Namun itu tidak mengurangi kecantikan Dinda. Keluarga Arif sudah menunggu di ruang tamu. Semua yang hadir sangat mengagumi kecantikan Dinda. Apa lagi Arif. Rasanya ia sudah tidak sabar lagi ingin mempersunting Dinda. Pembicaraan sore itu pun dimulai dan berakhir dengan kata 


“ya, Kami menerima lamaran dari Nak Arif”


Pagi tiba, saatnya kembali masuk kantor. Semalam Dinda sangat sibuk, sehingga ia hampir terlambat masuk kantor. Ia pun lupa kalau hari ini adalah hari pertama ia bersama atasan barunya Pak Rinto.

Dinda baru saja duduk di mejanya.


“Baru datang ya?” Dinda dikagetkan dengan suara di sampingnya.

“eee…iii…iyyaa Pak” 

“Dua menit lagi, anda terlambat, besok bisa lebih awal lagi?”

“Maaf Pak…Iya..bisa Pak”

Pak Rinto. Memang ini bukan pertemuan pertama, tapi ini adalah Hari pertama dan teguran pertama. Dingin sekali Pak Rinto.

Hari – hari berlalu, sudah hampir dua minggu Pak Rinto ada di kantor Dinda. Sejauh ini semuanya berjalan baik, tapi bekerja dengan Pak Rinto benar – benar menegangkan. Tidak sesantai bekerja dengan Pak Martin. Yang lebih memiliki sifat kebapaan.


“Din, kita jalan yuk! Ajak Arif. Sore itu Arif bertamu ke rumah Dinda dan mengajak Dinda keluar. Sebenarnya Dinda sedang tidak ingin keluar rumah, tapi udara sore itu sangat indah. Cerah sekali. Sayang juga kalau dilewatkan. Akhirnya Dinda mengikuti ajakan Arif.  Arif dan Dinda terlihat asik bercerita di tengah taman. Sesekali mereka terlihat saling tertawa. 

“Din, aku ke sana dulu ya, cari cemilan sama minuman.”

“Ooo…boleh. Aku tunggu di sini saja.” Jawab Dinda. 

Arif kemudian pergi. Sambil menunggu Arif, Dinda melihat – lihat isi ponselnya. Ia mengecek sosmed miliknya, mungkin saja ada pesan baru. Dan benar. Ada sebuah tawaran pertemanan baru di sana. Tanpa melihat jelas dengan siapa, Dinda langsung menyetujuinya. Dinda memang tidak membatasi pertemanannya dalam Sosial Media. Itu dikarenakan oleh pekerjaannya di bidang marketing.

“Rindu yang terburu – buru” ada postingan dari akun baru itu. Sebuah puisi dengan tema Rindu. Dinda tersenyum sambil membaca puisi itu.

“Hhhmm….bagus judulnya, jadi ingat seseorang….” Dinda membatin sambil tersenyum.

“Kenapa nih, senyum – senyum sendiri….” Arif mengagetkan lamunan Dinda.

“Aahhh…. Rif, bikin kaget saja. Makasih ya.” Ucap Dinda sambil menerima minuman dan cemilan dari Arif. 


“Selamat siang Bapak/Ibu semua, mohon hadir dalam rapat evaluasi yang akan diadakan pada sore ini tepat jam tiga sore atau sebelum jam pulang kantor.” Demikian bunyi pesan yang masuk dalam grup WA Dinda. Pesan dari atasan barunya, Pak Rinto.

Sesuai dengan isi pesan itu, Dinda dan teman – teman sudah berada dalam ruang rapat. Rapat sore itu berjalan dengan baik. Banyak hal yang dibicarakan. Termasuk penurunan daya beli pada salah satu kantor unit di luar kota. Dan pada akhirnya Rapat pun selesai.

“Terima kasih teman – teman, untuk pertemuan kita sore ini. Selamat bekerja dengan lebih semangat lagi dan ingat, tidak ada motivator terbaik dalam hidup kita selain diri kita sendiri. Orang yang menjadikan dirinya motivator utama, sesungguhnya adalah orang yang Tangguh” Pak Rinto mengucapkan kata – kata motivasi itu sambil tersenyum dan melihat anggota rapat satu per satu termasuk Dinda. Dinda tersentak sejenak dengan kata – kata motivasi itu. Entah apa yang membuat ia tersentak, ia pun tak tahu. Tapi yang jelas, kata – kata itu bukanlah pertama kali didengar oleh Dinda. Ada seseorang dalam hidup Dinda yang pernah memberikan kata – kata yang mirip. 


Dinda buru – buru ke tempat parkir, untuk megambil motornya, Karena langit terlihat gelap dan hampir turun hujan. 

“Jangan terlalu terburu – buru” Dinda terkejut.

“Eehh…Pak RInto….. maaf Pak saya takut kehujanan.” 

“Kadang ketakutan itu hanya datang sesaat dan mengganggu pikiran kita, padahal sebenarnya hal yang ditakuti, belum tentu fatal dalam hidup kita. Aku duluan ya Din……. Hati – hati….” Pak Rinto berpamitan dan langsung pergi. Dinda tidak sempat menjawab, ia hanya menatap kepergian Pak Rinto sambil bingung dengan ucapan Pak Rinto. Apa maksud Ucapan Pak Rinto.


Malam itu keluarga Dinda sedang menikmati makan malam bersama. 

“Din…… tadi Ibu Karso menelpon, beliau menanyakan sejauh mana persiapan kamu sama Arif untuk pernikahan kalian. Apa sih yang sudah kalian siapkan?” Tanya Ibu Dinda. Dinda hanya terdiam. Benar juga kata Ibu, sudah sebulan lebih dari acara lamaran itu. Seharusnya, sudah sekitar 50 % persiapan pernikahan ini. Tapi nyatanya……

“Din………..”

“Eeeehhhh……….Iya Ma…….”

“Ditanya kok, melamun?”

“eeehhh Iya Ma…..Dinda dengar kok Ma. Nanti ya Ma, Dinda tanyakan dulu sama Arif.”

“Tanyakan?? Emang belum dibahas Din?” K Ratna bertanya dengan heran.

“Sudah…sudah kok Kak…… maksudnya…… nanti Dinda sama Arif bicarakan lebih matang lagi.” Jawab Dinda sedikit gugup. Kak Ratna adalah kakak perempuan Dinda orangnya sedikit tegas dalam melakukan segala sesuatu. Tidak heran jika Kak Ratna selalu sukses dalam karirnya dan juga pernikahannya. Menurut Kak Ratna semua rencana yang dibuat dalam hidup, harus memiliki Deadline waktu. Termasuk menikah. 



“Selamat pagi semua…….”

“Selamat Pagi Pak” semua staff membalas salam Pak Rinto. Termasuk DInda.

“Dinda bisa tolong saya? Tolong ambilkan buku notes saya di atas meja, saya harus rapat dengan kepala devisi sekarang.”

“Baik Pak!” 


Dinda segera menuju ruangan Pak Rinto. Hanya ada satu buku notes di atas meja. Buku notes yang bersampulkan kertas kado bergambar bunga sakura. Bagus juga. Dinda segera mengambilnya. Karena terburu – buru Dinda tidak sengaja menjatuhkan dua lembar kertas dari dalam buku itu. Dinda segera memungutnya. Yang satu kertas berisikan jadwal kerja Pak Rinto hari ini. Dan kertas yang lainnya sedikit lebih kusam, berisikan sebuah tulisan “Andai kamu bukan orang yang penakut dan terburu – buru……..” Dinda membaca tulisan itu. Perasaan Dinda berubah. Entah berubah menjadi apa. Tapi yang pasti, ada sesuatu yang Dinda rasakan dari tulisan itu. Kata – kata ini, kenapa kata – kata ini ada dalam kertas ini? Kenapa kertas ini ada dalam notes Pak Rinto? Kenapa notes ini harus miliknya Pak Rinto? Kenapa dan terlalu banyak kenapa dalam kepala Dinda pada saat itu…….


“Dindaaa…..” suara Pak Rinto mengejutkan Dinda.

“Iiiiiiyaaa Pak.” Dinda segera menemui Pak Rinto.

“Ini notesnya Pak. Maaf Pak, ada kertas yang terjatuh…….” Dinda menyerahkan notes dan dua kertas itu. Pak Rinto menerimanya. Seketika raut wajahnya berubah. Seperti sedikit terkejut dan gugup ketika Dinda menyerahkan dua kertas itu. 

“Baik, Terima Kasih.” 

“Sama sama Pak.”


Dinda tertegun di depan komputer kerjanya. Kata – kata Pak Rinto kemarin di parkiran kantor, kata – kata di kertas dalam notes Pak Rinto benar – benar mirip dengan kata – kata seseorang. Tapi kenapa mirip? Oya..Dinda lalu teringat sudah sebulan lebih ini, ia menjadi staf Pak Rinto tapi ia belum tahu, siapa nama lengkap Pak Rinto. Dengan segera Dinda mengutak– atik komputer kerjanya, ia mencari nama lengkap kepala bagiannya yang baru itu, Rinto Rafi Wiranta akhirnya Dinda menemukan nama lengkap Pak Rinto. Dan nama itu………………. Dinda sangat terkejut. Nama itu langsung membawa Dinda ke belasan tahun silam, ketika Dinda masih duduk di bangku kuliah tahun pertama. Rafi adalah lelaki terbaik dalam hidup Dinda pada saat itu setelah Ayah Dinda. Laki – laki yang pintar, baik hati, sederhana, lembut dan semua yang baik adalah Rafi. Laki – laki yang nyaris sempurna bagi Dinda. Namun, karena kepintarannya Rafi harus menjalani studinya ke luar negeri pada saat itu. Dan Dinda pun mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan mereka karena ada begitu banyak hal yang Dinda takutkan dalam hubungan jarak jauh, dinda takut akan kesetiaan, jarak, dan masih banyak hal lagi. Dan pada saat itu Rafi menganggap bahwa Dinda adalah orang yang penakut dan terburu – buru dalam mengambil sebuah keputusan. Sejak saat itu setiap kali Dinda mendengar ataupun membaca kata penakut dan terburu – buru hanya satu sosok dalam benaknya yaitu Rafi.


Sejak saat itu, Dinda sangat ingin sekali untuk memberanikan diri berbicara dengan Pak Rinto. Namun melihat sikap tegas dan dingin Pak Rinto setiap hari, membuat Dinda ragu, apa benar Pak Rinto adalah Rafi? Kalau benar, berarti Rafi sudah tidak mengenal Dinda lagi, atau Rafi memang sudah benar – benar membuang semua kenangan tentang Dinda. Tapi, paling tidak, sekedar menyapa Dinda sebagai seorang teman kuliah dulu juga baiklah. Tapi memang benar – benar apa yang Dinda harapkan tidak akan pernah terjadi, karena Rafi yang Dinda kenal dulu sudah berubah menjadi seorang Pak Rinto. Atasan Dinda.


Waktu terus berjalan, pernikahan Dinda dan Arif sudah disiapkan secara baik. Dua minggu lagi pernikahan itu berlangsung. Dinda meniginginkan pernikahan yang sederhana saja dan tidak mengundang terlalu banyak kenalan dan kerabat. Meskipun undangan belum tersebar, di kantor hampir semua karyawan sudah membicarakan tentang pesta pernikahan Dinda. Dan tidak sedikit dari mereka yang kaget dengan pernikahan Dinda, karena Dinda memang jarang terlihat jalan bersama seorang pria baik teman ataupun pacar. Dinda sendiri hanya tersenyum mendengar dan menerima komentar dari teman – temannya.


“Permisi Pak” sore itu Dinda menemui Pak Rinto di ruangan Pak Rinto.

“Ooo…Dinda. Ada apa?” Pak Rinto terlihat sedikit terkejut dengan kedatangan Dinda. Namun begitu pintarnya Pak Rinto mengelak dan menyembunyikan rasa kagetnya. Memang Dinda akui, Pak Rinto pintar dalam segala hal. Mungkin juga dalam hal menutupi perasaan.

“Apa boleh saya duduk Pak?”

“Oh…ya..silahkan.” kata Pak Rinto sambil menutup laptopnya.

“Maaf Pak, Apa boleh, saya ijin untuk dua hari ke depan Pak”

“ Boleh sih, tapi maaf, Apa boleh saya tahu alasannya. Soalnya kalau memang alasannya tidak terlalu penting sebaiknya kamu masuk kerjanya setengah hari saja. Selesai makan siang kamu boleh pulang.”

“Sayaaa…. Saya mau mengurus persiapan pernikahan saya Pak.”

“Prraaaaaaangggg” Pak Rinto tidak sengaja menyenggol gelas yang berisi air yang ada di atas meja kerjanya entah karena benar – benar tidak sengaja atau karena kaget mendengar ucapan Dinda, dan seketika gelas itu jatuh dan pecah. Dinda sangat terkejut. Dengan spontan Dinda langsung duduk dan hendak membereskan pecahan gelas itu. Begitu juga dengan Pak RInto. Pak Rinto juga menunduk untuk membersihkan semuanya sehingga secara tidak sengaja Pak Rinto dan Dinda berada dalam posisi yang begitu dekat dan ketika Dinda menatap mata Pak Rinto, Dinda benar – benar yakin kalau itu adalah Rafi.

“Rafi…………..” tanpa sadar Dinda mengucap nama Rafi sambil terus menatap mata Pak Rinto.

“Ooo…..maaf…maaf sekali Dinda. Biar nanti OB yang bereskan” Pak Rinto segera berdiri. Ia seperti takut kalau suasana itu akan berlangsung lama.

“ Iyaa Pak… saya juga minta maaf.”

“Eee..jadi…bagaimana tadi? Kamu mau ijin untuk…..”

“Untuk urusan persiapan pernikahan saya Pak.”


Pak Rinto terlihat menatap Dinda dengan sangat dalam. Dan Dinda pun mengetahui itu. Ingin sekali Dinda mendengar kejujuran dari Pak Rinto. Kalau Pak RInto adalah Rafi. Ingiiiiin sekali. 


“Baik…kamu boleh ijin selama dua hari ke depan.” Setelah berkata demikian Pak Rinto langsung bangun dari sofanya dan kembali ke meja kerjanya. Dinda masih tetap terdiam melihat Pak Rinto. sambil hatinya sudah benar – benar yakin bahwa laki – laki yang di depannya saat ini adalah Rafi. Kekasihnya belasan tahun yang lalu. Yang diambil oleh rasa takut dan keputusan yang terburu – buru. Dinda masih di situ berharap ada sesuatu yang diungkapkan Pak Rinto untuk DIrinya.

“Bagaimana Din…masih ada lagi?” kali ini Pak Rinto bertanya tanpa mengangkat muka untuk melihat Dinda. 

“Tidak Pak…itu saja….dan Terima Kasih sudah memberi ijin pada saya. Permisi Pak” Dinda melangkah keluar dari ruangan Pak Rinto.

“Saya harap keputusan kamu untuk menikah bukanlah keputusan yang terburu –buru apa lagi karena rasa takut, dibilang orang sudah berumur tapi belum mempunyai jodoh.”


Dinda menghentikan langkahnya, kata – kata itu, kembali lagi. Kata “penakut” dan “Buru – buru” kata itu identik sekali dengan Rafi……..Dinda menoleh ke arah Pak Rinto, ternyata Pak Rinto mengucapkan kalimat itu tanpa melihat sedikit pun kearah Dinda. Apa maksud Pak Rinto.


Sejak malam itu Dinda benar – benar terganggu, ia hampir tidak bisa tidur nyenyak. Semua yang ada di kepalanya hanyalah Pak Rinto. Hampir semua benda dalam kamarnya berubah wujud menjadi wajah Pak Rinto, ada beberapa juga yang berubah menjadi wajah Rafi ketika kuliah dulu. Yaa aammmpuunn….ada apa ini? Ingin sekali Dinda memikirkan Arif, calon suaminya tapi kenapa lagi lagi wajah Pak Rinto yang Nampak dalam ingatannya. Dinda berharap ini hanya sementara saja karena selama dua hari ini ia tidak masuk kantor dan tidak akan bertemu Pak Rinto. Jadi itu bisa saja menghapus ingatannya tentang Pak Rinto.


Namun ternyata, harapan tak sesuai kenyataan sudah dua hari berlalu, dan saatnya Dinda untuk masuk kerja. Bayangan Pak Rinto tetap bertahta dalam pikirannya. Akhirnya Dinda mengambil sebuah keputusan……. Sore itu sepulangnya dari kantor, Dinda pergi ke suatu tempat. Tempat favorit Dinda sejak masih bersekolah, kuliah dan bahkan sudah bekerja pun Dinda sering sekali ke tempat itu. Ia pergi ke suatu taman. Taman yang indah. Sejak dulu taman itu tidak banyak berubah. Hampir setiap sudut taman itu Dinda sudah menghafalnya. Namun ada sebuah tempat di taman itu, tepatnya di sebelah kiri dari pintu masuk ada jalan setapak yang dihiasi mawar putih dam merah dan setelah itu ada sebuah pohon yang daun dan bunganya menyerupai pohon sakura. Mirip sekali sama pohon sakura. Tempat itu adalah tempat kenangan Dinda bersama Rafi dan di tempat itu juga Dinda memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Rafi sehari sebelum Rafi pergi ke luar Negeri. Tempat itu sangat berarti untuk Dinda. Hubungan Kasih mereka mungkin putus di bawah pohon itu, namun Dinda yakin kalau Pohon itu juga tahu, bahwa Dinda tidak pernah melupakan Rafi seperginya Rafi dari bawah pohon itu, pada waktu itu. Pohon sakura itu adalah satu satunya saksi bahwa Dinda masih terus mencintai Rafi meski hanya dalam angan - angan, yaa…. Angan - angan dalam takut dan terburu – buru. 


Sore itu Dinda tiba di tempat itu setelah hampir setahun ia tidak duduk di bawah pohon itu. Ia melihat ada sebuah buku yang terletak di atas bangku duduk di bawah pohon itu. Berarti ada seseorang yang baru saja pergi dari tempat ini dan melupakan barangnya di sini. Pikir Dinda. Dan sesampainya di situ, Dinda cukup terkejut. Ternyata buku itu adalah sebuah notes. Dan sampul notes itu adalah sampul bunga sakura…….. itu kan notes miliknya…….. belum selesai pikiran Dinda tentang notes itu, tiba – tiba……..

“Permisi….. ada barang saya yang………”

Dinda menoleh ke pemilik suara itu.

“Pak Rinto!” rasa kaget Dinda seperti bertambah dan berlapis lapis. Pak Rinto pun terkejut melihat Dinda. Ia seperti ingin berlari tapi tak mungkin. Ia seperti masuk dalam sebuah perangkap. Wajahnya benar – benar menggambarkan rasa gugup, malu dan begitu banyak rasa yang terpancar dari wajah Pak Rinto.

“Mmmmaaf…. Saya mau…..”

“Iyaa, saya tahu kok, ini milik Pak Rinto.” Ucap Dinda sambil mengambil notes itu.

Kamu tahu dari mana Din?” Tanya Pak Rinto heran.

“Bukan hanya itu saja, saya juga tahu, kalau di dalam notes ini biasanya ada dua kertas, yang satu jadwal pekerjaan Pak Rinto setiap harinya dan yang satu lagi….”

“Berikan notes itu Dinda.” Pak Rinto terlihat sedikit serius sambil berusaha mengambil notes itu dari tangan Dinda. Dengan cepat Dinda mengelak.

“Kenapa Pak? Pak takut saya mengetahui isi dari kertas yang ke dua? Pak takut kalau saya mengetahui tentang penyesalan Bapak tentang rasa takut dan terburu – buru? Saya tahu Pak Rinto bukanlah orang yang penakut, bukanlah orang yang terburu – buru dalam memutuskan sesuatu, Saya tahu itu Pak. Tapi mungkin itu dulu, karena untuk sekarang, bagi saya Pak Rinto adalah orang yang penakut, takut untuk berkata jujur bahwa sebenarnya Pak RInto adalah Rafi.”

“Cukup Dinda! Berikan notes pada saya, saya harus pergi sekarang.”

“Oya? Sekarang? Lalu, kenapa Pak Rinto bisa ada di tempat ini? Taman ini begitu luas, tapi kenapa Pak Rinto memilih duduk di sini, di bawah pohon ini, disudut kiri dari taman ini? Kenapa Pak?”


Perlahan Dinda mulai tidak bisa menguasai dirinya. Ia mulai menangis. Dan Pak Rinto pun perlahan mendekatinya. Ingin sekali Pak Rinto memeluk dan membelai rambut ikal Dinda, tapi rasanya itu tidak mungkin, Dinda sudah resmi menjadi calon istri laki - laki lain. Saat itu Pak Rinto pun hampir tak kuasa menahan rasa rindunya yang sudah ia tahan selama belasan tahun ini. Rindu yang terburu – buru. Rindu yang selalu muncul di permukaan meski sudah berulang kali ia coba menguburnya dalam – dalam. 

“Dinda…..please, jangan menangis. Aku…….” Suara Pak Rinto terhenti.

“ Rafi…………Rafi, kenapa kamu….”

“Din….tolong, jangan ada kata kenapa lagi. Aku memang masih Rafi yang dulu, tapi kamu, kamu bukan lagi Dinda yang dulu. Kamu sudah sah menjadi calon istri orang. Kalau dulu, rasa takut kamu yang membuat kita terpisah, ku akui, bahwa sekarang di pertemuan kita yang ke dua, rasa takut akulah yang membuat kita tak bisa bersatu. Aku tidak mungkin menghancurkan rencana pernikahan kamu. Aku datang ke tempat ini untuk mengenang segalanya tentang kita. Karena aku tahu ini saat – saat terakhir aku bisa ada di tempat ini.” 

“Maksud kamu?”

“Mulai lusa aku akan ke Jerman, melanjutkan study ku. Dan kali ini Aku dikirim oleh perusahaan kita. Dan selesai sekolah, aku memegang cabang perusahaan kita yang ada di Jerman. Kemarin aku sudah tanda tangan kontraknya setelah kamu meminta ijin untuk mengurus pernikahan mu.” Pak Rinto berkata sambil tersenyum.


Betapa hancur hati Dinda. Kata orang kesempatan ke dua pasti selalu ada, tapi tidak untuk kiash cintanya dengan Rafi.


“Din…….”

“Iyyaa…”

“Aku minta maaf….”

“Minta maaf untuk Apa?”.

“Maafkan aku, jika nantinya………. Aku terus merindukan mu……….” Setelah berkata demikian, Pak Rinto mengambil notes yang ada di tangan Dinda dan pergi dari tempat itu.


Tinggalah Dinda sendiri di bawah pohon itu. Pohon saksi bisu untuk dua hati yang hanya bisa saling merindu tanpa bisa bersatu. Dinda hanya duduk tertunduk. Ia tak sanggup untuk melihat kepergian laki – laki yang sama, dalam suasana hati yang sama hancurnya pada belasan tahun lalu. Dan hari ini, terulang lagi.


“Maafkan aku juga Rafi…… maafkan jika aku pun akan terus merindukan mu……….”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Halaman