Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, Tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya - SOE POST

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Jumat, 22 Maret 2024

Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, Tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya



Penulis Theresia Dhengi Mae
Editor Yabes Nubatonis 

Tanggal 8 Maret adalah Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD), untuk memperingati pencapaian sosial, ekonomi, budaya, politik, dan perjuangan perempuan dalam mencapai kesetaraan gender dan hak-hak perempuan di seluruh dunia. Di Indonesia, Hari Perempuan Internasional juga dirayakan setiap tahun pada tanggal yang sama. Di Indonesia terdapat beberapa organisasi perempuan yang aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender seperti Komnas Perempuan, Kalyanamitra, dan Solidaritas Perempuan. Tahun 2024 ini, tema yang diambil dalam peringatan Hari Perempuan Internasional adalah; “Inspire Inclusion, menekankan pentingnya keberagaman dan pemberdayaan di seluruh aspek masyarakat.  Tema ini menggarisbawahi pentingnya peran inklusi dalam mencapai kesetaraan gender.


Untuk menyukseskan tujuan ini, maka diperlukan tindakan untuk mendobrak hambatan, menantang stereotip, dan menciptakan lingkungan di mana semua perempuan dihargai dan dihormati Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) bermula di tahun 1908 ketika 15.000 perempuan melakukan aksi demo di New York, Amerika Serikat, menyuarakan hak mereka tentang peningkatan standar upah dan pemangkasan jam kerja.


Namun kita melihat  pada masa silam  garda  terdepan  membela  kaum perempuan perempuan di Indonesia sediri adalah sosok Raden Ajeng Kartini, Agustus tahun 1900.Raden  Ajeng Kartini merupakan sosok emansipasi yang mencetuskan lahirnya kesetaraan gender dan kesamaan kelas sosial dalam masyarakat Indonesia. R.A. Kartini sebagai ikon emansipasi wanita walaupun hanya mengenyam pendidikan sampai pada usia 12 Tahun, hal tersebut tidak menyulutkan api semangatnya untuk tetap belajar. Semangat Kartini untuk memperjuangkan kesetaraan dan kesamaan kelas sosial lahir dari pandangannya terhadap kemampuan dan kebebasan berfikir perempuan eropa pada masa itu, yang jika dibandingkan dengan kondisi perempuan Indonesia sangatlah tertinggal jauh. Latar belakang sejarah Indonesia menunjukkan bahwa perempuan ialah jenis kelamin yang berada pada strata kedua dalam masyarakat yang hanya berperan di “dapur, sumur, dan kasur.” Tilas sejarah inilah yang memenjara ruang gerak  perempuan hingga melahirkan stigma dalam masyarakat bahwa perempuan ialah sosok yang tidak setara dan sebanding dengan laki-laki. Perempuan dianggap tidak dapat memiliki peran yang besar dalam masyarakat, tidak layak untuk berpendidikan tinggi, tidak dapat menjadi seorang pemimpin negeri, bahkan hanya menduduki strata kedua yang berada dibawah kendali laki-laki.


Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki maupun perempuan, atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan. Platform Aksi Beijing dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW) merekomendasikan agar semua pemerintah di dunia agar memberlakukan kuota sebagai langkah khusus yang bersifat sementara untuk meningkatkan jumlah perempuan di dalam jabatan-jabatan appointif (berdasarkan penunjukan /pengangkatan) maupun elektif (berdasarkan hasil pemilihan) pada tingkat pemerintahan lokal dan nasional.


Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, dan semua sector  pembangunan di seluruh negeri. Ini adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri, meskipun ada  kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara berkembang dimana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas  sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik dan pengambilan keputusan terjadi di mana-mana. Perempuan baru pada tataran sebagai objek pembangunan belum menyasar sebagai pelaku pembangunan. Salah satu factor yang menyebabkan lingkaran ketidakadilan gender ini berada pada tataran kebijakan yang masih bias gender.


Beberapa waktu terakhir, isu kesetaraan gender telah menjadi hal menonjol dalam platform pembangunan, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional. Kita tentu memahami bahwa selama ini perempuan secara sosial terpinggirkan. Budaya partriarkis yang tidak ramah pada perempuan. Ada konstruksi sosial budaya yang menempatkan perempuan seolah-olah hanya boleh mengurus soal-soal domestik saja. Tak ada hak untuk merambah area public yang lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keyakinan itu masih tertanam kuat. Persoalan perwakilan perempuan menjadi penting manakala kita sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita melihat perempuan tidak secara proporsional terlibat dalam kehidupan di ranah publik. Hal ini sangat menyedihkan apabila dilihat dari komposisi penduduk antara laki-laki dan perempuan yang hampir berimbang. Sebagai bentuk representasi perempuan di legislatif masih sangat minim, yang masih menjadi pemikiran kita bersama


Sejatinya, perjuangan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam politik dan mewujudkan representasi politik perempuan (yang bukan sekedar warna, tapi turut mewarnai) di negeri ini sepertinya masih butuh waktu panjang dan perjuangan yang kuat untuk dibuktikan, karena ini menyangkut kapabilitas yang bisa dipertanggungjawabkan untuk bersaing dan mampu berkontribusi dalam politik praktis secara signifikan.


Dalam masyarakat yang terlanjur meyakini kodrat perempuan sebagai makhluk lemah dan agak sensitif, jelas dibutuhkan upaya ekstra keras guna mengonstruksi isu representasi politik perempuan dalam bingkai demokrasi yang setara dan partisipatif dan wacana gender dalam frame pluralism demokratis (non-patriarkis) sebagai prioritas kebijakan ke depan agar tatanan masyarakat demokratis yang berkeadilan jender bisa sungguh-sungguh terwujud di negeri ini.


Maka dari itu sebaiknya dalam mengupayakan kesetaraan gender, khususnya dalam dunia politik dan pengambilan keputusan, perlu adanya upaya yang sinergis dan berkesinambungan, dengan melibatkan pemangku kepentingan semua pihak yang menjadi pelaku politik khususnya partai politik, organisasi kemasyarakatan dan pemerintah melalui instansi terkait dalam penyelenggaraan pendidikan politik yang lebih meluas dan terencana bagi perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Halaman