Editor Redaksi Soe Post
TTS|Soepost.com, - Ditemui dibilangan kota Soe usai pertemuan bersama Penjabat Bupati TTS, Kamis, (16/05/2024). Ketua Aliansi Rakyat Anti Korupsi (ARAKSI) NTT Alfred Baun, SH. Menyebut, jika persoalan penyelesaian hak warga terdampak pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Raksasa Temef. Kuat dugaan, ada mafia tanah dan indikasi korupsi besar-besaran.
Aktifis pegiat Anti Korupsi ini berpendapat bahwa, ketika rakyat dengan ikhlas, memberikan tanah kepada negara untuk pembangunan negara ini. Kemudian ada tangan tangan jahil yang masuk, lalu kemudian hak rakyat di iris-iris. Kemudian rakyat harus tegang urat leher, untuk berteriak melalui demostrasi baru dapat hak nya. Itu kan sesuatu yang keliru?.
Mega proyek yang menelan anggara APBN senilai 2,3 Trilliun. Secara keseluruhan sudah membiayai pembangunan bendungan raksasa Temef. Termasuk didalamnya biaya ganti rugi pembebasan lahan tanah milik rakyat yang terdampak langsung.
Informasi terkuaknya dugaan mafia tanah dan indikasi korupsi sangat jelas. Pasalnya berdasarkan kesepakatan awal area 245 merupakan keseluruhan yang disepakati awal oleh pemerintah untuk diselesaikan dengan pembayaran lunas. Namun mengapa dipertengahan, baru ada klaim-mengklaim bahwa area 174 masuk kawasan kehutanan, dimana bukti administrasi aktualnya.
Araksi menduga, indikasi korupsi pada persoalan ganti rugi lahan ada di PRKP. Sebab sesuai kesepakatan awal, total kawasan 245 akan diselesaikan pada tahap 5. Lalu PRKP dan Kehutanan, kembali mengklaim bahwa area 174 masuk kawasan Kehutanan. Tanda tanya besar, hasil kesepakatan awal kenapa tidak jelaskan? Kok baru sekarang terkesan mengada-ngada? Araksi bersama rakyat serius meminta pembuktian data secara administrasi.
"Saya minta hasil kesepakatan sosialisasi awal. Kita buka-bukaan untuk mengurai benang kusut ini ada dimana, tetapi mereka (Dinas PRKP), Pertanahan dan Kehutanan) tidak berani membuka data terhadap hasil sosialisasi awal" Pinta Baun.
Data yang dilaporkan ke Bapak Presiden, melalui Balai Kawasan Sungai (BKS) dan Kementerian PRKP adalah pembayaran dihitung per meter, bukan perhitungan dihitung berdasarkan rumah tangga. Anehnya hitungan pembayaran yang dipakai sekarang adalah pembayaran per kepala rumah tangga, bukannya kesepakatan awal yang dipakai adalah pembayaran per meter?
"Kesepakatan awal, perhitungan pembayaran per meter, sehingga nilai permeter dibayar dengan harga 60.000, itu untuk lahan kering. Sementara lahan basah dibayar dengan harga 75.000. Nah Ini yang kita minta mereka (PUPR, Pertanahan dan Kehutanan) buka data sosialisasi awal, tapi kok tidak berani membuka ini ke publik. Ada apa ini? Yah kita menduga ada indikasi korupsi terhadap hak rakyat". Imbuh Ketua Araksi.
Anehnya lagi, hasil kesepakatan sosialisasi awal terkait pembayaran kompensasi untuk relokasi kuburan leluhur warga Oenino dan Polen per kuburan dihitung dengan nilai 8.500.000. namun kenyataannya realisasi di lapangan hanya dibayarkan 5.500.000. Pertanyaannya 3.000.000 kemana? Ini yang kita minta pembuktian secara administrasi ketika sosialisasi awal.
Total kuburan leluhur yang terdampak, karena berada di sona lahan pembangunan Bendungan Raksasa Temef sebanyak 427 kuburan di kali dengan 3.000.000 maka nilainya mencapai 1.281.000.000, dengan persebaran di 2 titik yaitu desa Konbaki sebanyak 400 kuburan. Persis di mulut bendungan raksasa Temef 27 kuburan.
Polemik klaim area 147 menjadi kawasan kehutanan, Araksi menduga adanya tindak pidana korupsi dan mafia tanah yang terstruktur sistematis dan masif (TSM). Pasalnya, sosialisasi awal bahkan pembayaran ganti rugi dan kompensasi pada tahap 1, tahap 2 dan tahap 3 yang sudah dilakukan Pemerintah, Kehutanan tidak pernah hadir untuk komplain. Namun dipertengahan baru Kehutanan klaim kawasan tersebut sebagai milik. Pertanyaannya, kehutanan berada di posisi mana, sehingga tidak mengetahui proses yang dilakukan oleh PUPR?
"Tahap awal Pembayaran tahap 1. Tahap 2 tahap 3, kehutanan belum klaim. Namun ketika pembayaran tahap 4 kehutanan muncul. Ada apa ini?" Kalau kita bicara terkait tanah ulayat. Bahwa Presiden telah mengembalikan tanah ulayat kepada kepala suku. Dan bukan dikelola lagi oleh kehutanan dan itu sangat jelas". Tegas Ketua Araksi
"Namun hari ini kehutanan mengklaim tanah ini masuk kawasan kehutanan, sementara tanah itu adalah milik rakyat. Jangan karena ada uang disitu, lalu kehutanan masuk disitu. Maka itu saya minta, agar kehutanan membawakan administrasi ketika hari selasa turun ke lapangan untuk melibat batas-batas". Sambung Ketua Araksi.
Lanjut Ketua Araksi, Administrasi yang saya minta adalah peta Kehutanan itu harus dibuka. Bahwa pada titik ini, kehutanan menguasai lahan tersebut tahun berapa? Maka Kehutanan dan Pertanahan juga wajib menunjukan batas-batasnya. Sedangkan pal kehutanan saja jauhnya 1 kilo meter dari lokasi area lahan milik warga terdampak. Sehingga saya minta kepada Kehutanan, Pertanahan turun ke lokasi, dengan membawa serta data adminstrasi, dan peta agar kita buka kembali sesuai sosialisasi awal.
Dari 245 lahan, baru 71 pemilik yang sah. Sementara 174 lahan menurut PUPR itu milik kehutanan, disini saya tantang PUPR, Pertanahan dan Kehutanan Kita buka data administrasi.
"Klaim kehutanan terkait kepemilikan atas 174 lahan justru Pertanahan dan Kehutanan, tapi kok tidak menjelaskan". Tandas Ketua Araksi sembari meminta kepada Aparat Penegak Hukum (APH) Kepolisian, Kejaksaan, KPK untuk turut mengawal persoalan ini, demi hak rakyat.
Pantauan soepost.com, kamis (16/05/2024). Warga terdampak program strategis Nasional (PSN) Bendungan Raksasa Temef, desa Konbaki kecamatan Polen dan Oenino menemui Penjabat Bupati TTS. Pertemuan yang berlangsung dj aula Gunung Mutis Kantor Bupati TTS, diterima oleh Penjabat Bupati TTS Drs. Seperius E. Sipa, M.Si.
Buntut dari pertemuan ini, setelah warga melakukan aksi blokade jalan masuk ke Bendungan Temef pada selasa, 14 mei 2024 hingga mengakibatkan aktifitas pekerjaan mega proyek pembangunan Bendungan raksasa temef terhenti total.
Point penting dari pertemuan antara warga masyarakat kecamatan Polen dan Oenino bersama Penjabat Bupati TTS, guna memastikan kejelasan penyelesaian janji kompensasi ganti rugi lahan warga yang terdampak program strategis nasional (PSN) Bendungan Raksasa Temef.
Menanggapi persoalan yang disampaikan warga. Penjabat Bupati menjelaskan jika kewenangannya ada di pemerintah pusat. Namun Penjabat berjanji akan menyampaikan aspirasi masyarakat ke pusat.
"Terima kasih atas beberapa hal yang disampaikan kepada pemerintah daerah. Terkait ganti rugi, kewenangan ada di pusat. Namun aspirasi dari warga, akan kita sampaikan melalui Balai Wilayah Sungai untuk diteruskan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)". Jelas Sipa
"Terkait permintaan warga, Sipa berjanji akan turun bersama Forkompinda ke lokasi untuk melihat langsung kondisi yang disampaikan warga pada Selasa mendatang. Tapi nanti tolong buka kembali jalan, biar pekerjaan tetap berjalan. Ini program pemerintah pusat, dan kita di daerah yang akan nikmati". Sambung Sipa sambil mengajak warga.
Harapan publik, mengenai penyelesaian ganti rugi lahan dan kompensasi bagi warga kecamatan Oenino dan Polen. Segera ada titik terang. Pasalnya program strategis nasional (PSN), pembangunan mega proyek bendungan raksasa Temef, akan membawa dampak dan manfaat besar bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat di TTS dan bahkan masyarakat Kabupaten Tetangga di pulau Timor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar