Koherensi Teori Politik Identitas Charles Taylor Dengan Filosofi “To’o Jogho Waga Sama” - SOE POST

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 19 Juni 2024

Koherensi Teori Politik Identitas Charles Taylor Dengan Filosofi “To’o Jogho Waga Sama”

Penulis Yulianus Minggu, Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang


Percekcokan dan permusuhan antar suku menjadi kendala utama dalam upaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Kendati upaya-upaya ini mengalami kegagalan dalam penerapannya hingga berakibat pada runtuhnya ikatan persaudaraan di daerah pelosok, menjadi masalah serius dewasa ini. Pembalasan dendam yang terpendam itu masuk ke ranah politik di mana jalur-jalur perkembangan ekonomi lokal dibatasi dengan berbagai cara yang merugikan. Semboyan filosofi “To’o Jogho Wangga Sama” dan gagasan “Politik Identitas” mampu membangkitkan rasa persaudaraan dan tidak dikekang oleh ego pribadi maupun kelompok dalam tatanan sosial kemasyarakatan dalam lingkup penerapan dunia perpolitikan di Nagekeo.


Kesenjangan terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh sifat egoisme dan koruptif golongan tertentu  yang mendominasi suatu daerah, juga memberi dampak negatif serta imbas yang minus pada perikemanusiaan. Perbedaan dinilai dari berbagai sudut pandang hingga pada akhirnya terbentuknya separatisme dan memarginalkan pihak lain. Politik Indonesia secara luas diakui akan keberadaannya yang gemilang tapi mengandung banyak permainan dan teka-teki yang sulit ditebak. Pluralisme di Indonesia masih menjadi kendala terinternalisasinya kesejahteraan dan keadilan manakala bantuan dari pemerintah dialokasikan ke masyarakat dan terbagi dalam berbagai segi kebutuhan, misalnya dalam bidang agama pun mengemis untuk kepentingan spiritualitas keagamaanya. 


Konteks persatuan masyarakat Nagekeo memegang erat dogma kultural yang mengikat setiap individu tertentu dalam suatu suku yang berbeda-beda. “To’o jogho waga sama” memiliki arti filosofi yang tercerna secara baik oleh segenap masyarakat Nagekeo. Lantas dunia perpolitikan mulai memberi efek yang menghilangkan kekuatan ikatan kekeluargaan dan suku dalam ajang pemilihan kepala daerah sama sekali membentuk alur politik yang menuju ke perpecahan dan perselisihan yang berkepanjangan.


Gambaran umum to’o jogho waga sama sama artinya dengan bhineka tunggal ikanya orang Nagekeo secara keseluruhan tanpa ada diskriminasi suku, gender, dan ras. Totalitas merangkul setiap anggota sukunya. Walaupun terbagi dalam dua suku besar yakni suku Nage dan suku Keo.


Suku Nage sendiri terletak di sebelah utara tepatnya di kota Mbay dan suku Keo berada di sebelah selatan di wilayah Ma’u. Kedua suku tersebut letaknya berbeda dan menempuh jarak yang berjauhan. Namun kata filosofis tersebut mampu mempersatukan  pemahaman segenap anggota suku tertentu untuk  tetap bersatu.


Penulis ingin menelaah satu unsur keterkaitan antara satu pemahaman filosofis to’o jogho waga sama dalam kehidupan orang Nagekeo dengan satu misi mengubah arah pandang untuk menanamkan suatu prinsip mengenai kekeluargaan dalam suku dan menjalin hubungan kekerabatan antar sesama warga menjadi satu usaha rencana yang terus diupayakan. Dengan demikian penerapan politik identitas Charles Taylor mengubah oposisi kaum Mosa Laki Tana, meskipun dalam kenyataannya tak semudah membalik telapak tangan karena tua-tua adat dipandang penting dalam kedudukan masyarakat setempat dan juga prestise mereka sangatlah kuat. Adapun kekuatan tutur  kata adatnya di depan umum atau dalam musyawarah suku sangat menentukan masa depan himpunannya. 


Tercetusnya Gagasan Politik Identitas Charles Taylor


Konsep politik pengakuan seperti yang digagas oleh Taylor ini tentunya sangat relevan dengan gambaran politik saat ini. Dalam kaitan dengan persaingan politik, para aktor politik biasanya berusaha untuk memperoleh dukungan dalam kelompok mayoritas dan mengabaikan dukungan dari kelompok minoritas. Alhasil, ketika mereka berhasil dan menang dalam pemilihan, kepentingan kelompok mayoritaslah yang lebih diperhatikan. 


Politik pengakuan secara harafiah  berarti “menemukan” dan “mengetahui  sesuatu atau seseorang  sekali lagi” yang berasal dari kata kerja Latin cognoscere yang berarti mengetahui.  Menurut etimologi ini, gagasan politik identitas mengarah pada cara pandang yang baru dari segi-segi tertentu dari suatu objek atau manusia yang sama. Salah satu filsuf yang aktif menyuarakan konsep politik pengakuan ini adalah Charles Taylor sekaligus teori barunya yang terkenal. Gagasan ini kemudian berkembang menjadi bahan diskursus yang menarik di abad ke-21 ini walaupun gagasan tersebut dikemukakan pada abad sebelumnya. 


Konsep politik identitas ini dikembangkan oleh Taylor dari gagasan Hegel mengenai kebebasan individu. Dengan demikian, pengakuan sosial, sangatlah penting untuk pengembangan konsep tentang individu. Politik pengakuan atau identitas Taylor mampu memberi inspirasi yang mendobrak pandangan kemanusiaan seseorang dalam kaitannya dengan separatisme etnis, suku, agama dan ras. Taylor sesungguhnya memperjuangkan nasib suatu komunitas yang berbahasa Perancis di provinsi Quebec, Kanada yang mengalami berbagai bentuk kriminalitas dari masyarakat di sekitar mereka yang berbahasa Inggris. Komunitas ini memiliki intensi khusus untuk memakai bahasa Prancis agar tidak punah dari komunitasnya.


Komunitas masyarakat Quebec di Kanada merupakan salah satu contoh nyata yang menginspirasinya untuk menyuarakan kebebasan dan pengakuan identitas individu atau kelompok tertentu. Pengakuan yang kita berikan juga bisa menjadi jaminan bagi suatu kelompok, untuk tetap memperjuangkan identitasnya sendiri. Menurut Taylor, identitas adalah sebuah konteks pemahaman akan diri, dengan karakteristik fundamental yang memaparkan pentingnya fungsi kemanusiaan seorang individu. Ketiadaan pengakuan menghalangi individu mengekspresikan dirinya sebagai seorang manusia. 


Gagasan Taylor di atas mengimplikasikan konsep antropologis Taylor bahwa pengakuan merupakan kebutuhan vital seorang individu. Ketiadaan pengakuan tidak saja menunjukkan ketiadaan penghormatan melainkan menciptakan luka yang mendalam dalam diri manusia. Jadi, konsep politik pengakuan Taylor lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap kekhasan dan kekhususan identitas yang dimiliki oleh setiap individu atau kelompok. Prinsip ini menjadi bahan reflektif yang mengajak kembali setiap individu untuk mengintrospeksi diri dari dalam. Selain berkaitan dengan pluralisme dan keberagaman yang dimiliki oleh seorang pribadi atau kelompok, konsep pengakuan sebagai jaminan identitas Taylor juga berkaitan erat dengan  konsep pengakuan akan kualitas-kualitas pribadi yang dimiliki oleh setiap individu.


Bom Waktu Separatisme 


Naluri kebersamaan dalam suatu himpunan, pada dasarnya mengantar manusia masuk ke dalam pola nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, tanpa arahan gerak inisiatif dari seseorang pun hal ini sudah dari naturalnya tetap ada. Sebab keberadaan manusia memiliki keunggulan dinamis di mana kemampuan bersosialisasi menjadi potensi yang tidak bisa dikekang dan menjadi suatu keniscayaan. Dalam aspek kehidupan sosial, penilaian terhadap kehidupan menjadi patokan kehidupan bersama, sementara unsur-unsur konflik ditiadakan.  


Kualitas yang diperhatikan dalam konteks politik dewasa ini adalah kualitas dari golongan tertentu. Sebagaimana ditinjau dari segi kepentingan umum, tampilnya kandidat dari kalangan tertentu dianggap keberhasilan dari kubu tersebut. Kualitas seperti ini masih menjadi bagian dari hakikat demokrasi di Indonesia akan tetapi melonjaknya mentalitas egoisme tampaknya semakin memprihatinkan. Kualitas demokrasi yang adalah kesejahteraan masyarakat umum justru disalahgunakan. Kualitas seorang pemimpin harus setara dengan kualitas asli demokrasi yakni menguntungkan semua pihak tanpa memandang aspek kepentingan pihak tertentu saja sehingga  tidak tampak ketidakadilan.


Makna Filosofis “To’o Jogho Waga Sama”


Semboyan To,o Jogho Wangga Sama terinternalisasi di dalam penghayatan kehidupan masyarakat Nagekeo. Semboyan ini menjadi spiritualitas  tersendiri bagi masyarakat Nagekeo untuk mengembangkan pembangunan ekonomi-politik lokal dalam kehidupan sehari-hari.Di level mikro seruan too jogho wangga sama ini sering disebut sebagai "Ike", tradisi yang sering divisualkan masyarakat adat  setempat  untuk berkoalisi dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan, seperti mengerjakan kebun atau kegiatan lainnya. Tradisi ini tidak hanya mengikutsertakan kerja-sama antar individu, keluarga atau antar suku saja tetapi merangkul seluruh lapisan masyarakat manapun. Makna tradisi ini secara hermeneutik memiliki kesamaan arti dengan tradisi gotong royong atau masih berkaitan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam genggaman Pancasila yang adalah dasar negara.


"To,o Jogho Waga Sama" dipraktekkan secara terus menerus secara berkala dan dalam bentuk filosofis-teoretis. Pertanyaannya adalah bagaimana mengaktualisasikan tradisi "To,o Jogho Waga Sama" yang hegemonik dalam kehidupan bersama dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kasih, cinta persaudaraan dan kekeluargaan dalam budaya Nagekeo? Bagaimana strategi "To,o Jogho Waga Sama" diaplikasikan di dalam  masyarakat adat, pemerintah daerah dan agama dalam membangun political society dan pembangunan infrastruktur setempat saat ini? Terhegemoninya tradisi dalam sebuah pembangunan dan perencanaan menjadi semacam udara segar bagi masyarakat yang pro terhadap pembangunan infrastruktur setempat. Tradisi digunakan sebagai orientasi atau patokan dari pembangunan itu sendiri. Di sisi lain, semboyan To,o Jogho Waga Sama justru digunakan sebagai alat untuk menolak pembangunan oleh masyarakat yang kontra terhadap pembangunan infrastruktur tertentu.


Asas Persatuan Masyarakat Nagekeo


Dialog bukan sekadar sarana untuk memahami gambar diri seluruh kepribadian subjek atau pribadi lain yang menaruh perhatian yang intensif kepada orang lain yang memiliki pembahasan tema pokok problem tertentu tetapi sebagai jalan keluar yang didamba-dambakan. Ada fenomena lain yang unik yang tampak sebagai kekhasan menjelang pilpres atau  bentuk pemilihan lainnya yakni para calon itu dipujanggakan dalam suatu batas kriteria-kriteria tertentu hingga mencapai tahap di mana kesepakatan itu disahkan. Kandidat calon pemimpin yang ideal sering dipraktekkan di Indonesia saat ini khususnya dalam birokrasi negara sering terlihat dalam aspek-aspek yang sama pula. Seperti pada contoh nyata seorang kepala desa. Mengutamakan hak khusus kekeluargaan atau pihak-pihak  suku yang mendukungnya. Dalam pemahaman hidup moral memang baik akan tetapi dalam perpolitikan perlu diperhatikan juga apakah hal semacam ini termasuk dalam ranah politik yang memang ditetapkan untuk hal ini atau untuk maksud dan tujuan lain.


Konsep politik pengakuan seperti yang digagas oleh Taylor ini tentunya sangat relevan dengan nuansa politik saat ini. Dalam kaitannya dengan persaingan politik, para aktor politik biasanya berusaha untuk memperoleh dukungan dalam kelompok mayoritas dan mengabaikan dukungan dari kelompok minoritas. Alhasil, ketika berhasil meraih kursi kekuasaan politik, kepentingan kelompok mayoritaslah yang lebih diutamakan. 


Kalau dikaitkan dengan masalah politik di Desa Keli saat ini “politik Identitas” lebih mengarah pada pembentukan satu himpunan kecil diangkat dari banyaknya suku-suku yang tersebar di setiap perkampungan. Banyaknya suku juga membawa dampak negatif yang sangat transparan pada pola pikir yang sama ketika berhadapan dengan situasi-situasi umum seperti pencalonan kepala desa. Faktanya ketika kursi kepala desa lowong, pencalonan kepala desa memakai sistem perutusan dari masing-masing suku atau keluarga.


Politik identitas yang harus diperjuangkan ialah adanya kualitas yang harus dicapai. Alasannya ialah ketika dihubungkan dengan kondisi masyarakat saat ini paling efektif adalah jalan keluar untuk menjawab keluhan masyarakat yang memiliki masalah kehidupannya yang kompleks. Artinya bahwa dari aspek kehidupan sosial, masyarakat diringankan dengan adanya peran kepala desa yang berkualitas, peka dan cekatan dalam memimpin warganya.


Pandangan lain muncul ketika memilih berdasarkan kekuatan himpunan suku atau hubungan kekeluargaan, jelas menunjukkan keberpihakan yang transparan dan lebih menguntungkan pihak suku atau keluarga. Misalnya ada kesempatan di mana bantuan yang disalurkan dari pemerintah pusat untuk membantu perekonomian keluarga miskin di desa tersebut, bantuan tersebut diteruskan ke pihak keluarga miskin yang masuk dalam hubungan kekeluargaan dengan kepala desa. 


Dalam artikel Taylor yang berjudul “The Politic of Recognition” yaitu “Identitas seseorang sebagiannya dibentuk oleh pengakuan atau ketiadaan pengakuan, sering oleh kesalahan pengakuan dari orang lain sehingga pribadi  atau komunitas  itu bisa menderita kerugian, distorsi,  jika seseorang atau komunitas sekitar mereka memberikan gambaran yang jelek serta mengikat atau merendahkan. Ketiadaan pengakuan atau pandangan yang salah dapat mendatangkan kerusakan dan memojokkan orang lain dalam model yang salah, distorsif bahkan reduktif. Selain berkaitan dengan keragaman budaya atau keunggulan yang dimiliki oleh seorang pribadi atau kelompok, konsep politik identitas Taylorlah sebagai jaminan atas konflik yang terjadi. Menurut Taylor, identitas adalah sebuah paradigma pemahaman akan diri, tentang karakteristik fundamental yang mendefinisikan kemanusiaan seorang individu atau kelompok. Ketiadaan pengakuan menghalangi individu untuk merealisasikan diri sebagai manusia seutuhnya.


Kesimpulan


Kebaikan bersama merupakan ciri khas dari hidup berkomunitas yang merangkul segala bentuk perbedaan yang ada tanpa adanya perpecahan. Karena alam bawah sadar politik bertahun-tahun lamanya menguasai pola pikir umat manusia dengan dasar kepelitan dan keegoisan serta kerakusan membentuk ketidakadilan yang hakiki. Politik mulanya menerima kaum-kaum tertentu dengan tujuan yang jelas yakni memimpin dalam menggapai kesejahteraan bersama. Sebab politik dewasa ini menaruh pergolakan besar-besaran seperti peperangan dan permusuhan yang tampaknya tiada  kata akhir terkecuali dipangkas secara kasar demi mewujudkan kebaikan bersama. 


Upaya-upaya dalam gerakan kemanusiaan yang terpampang jelas melalui aspirasi masyarakat mengindikasikan kepincangan menghormati identitas manusia yang adalah subjek bagi dirinya sendiri dan objek bagi subjek yang lain. Identitas penting untuk diakui sejauh tidak memangkas kebebasan individu dan kelompok tertentu. Ia bebas mengekspresikan apa yang menjadi hakikatnya sebagai makhluk yang unik dan berbeda dari makhluk lainnya.


Pemahaman terbebasnya manusia dari ketakbebasan itu tergambarkan dalam upaya melepaskan diri dari penindasan dalam bentuk kriminalitas apapun. Charles Taylor meneguhkan kembali kepercayaan akan kemuliaan manusia yang terletak pada kebebasan individu maupun kelompok yang teruji akan kekuatannya dalam menghadapi persoalan kemanusiaan. Kemudian semboyan “To’o Jogho Wangga Sama” tentunya menjadi kekuatan baru bagi segenap pejuang keadilan dan kesejahteraan hidup di wilayah Nagekeo beserta lapisan masyarakat yang merasa tidak beruntung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Halaman