PENDEKATAN FALSIFIKASI KARL POPPER TERHADAP SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA - SOE POST

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 19 Juni 2024

PENDEKATAN FALSIFIKASI KARL POPPER TERHADAP SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA

Penulis Yosafat Eugenius Lamonge, Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA, Prodi Ilmu Filsafat


Karl Popper lahir di Wina, ibu kota Austria, pada 28 Juli 1902. Ayahnya, Simon Siegmund Carl Popper, adalah seorang pengacara yang kaya dan sukses. Jenny Schiff adalah ibunya, pianis amatir yang berbakat. Kedua orang tuanya beralih dari kepercayaan Yudaisme ke kepercayaan Lutheran. Mereka tidak menganut agama tertentu; sebaliknya, mereka mengubah agama mereka untuk menjadi bagian dari masyarakat Austria. 


Karl adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, dengan dua kakak perempuannya, Dora dan Annie. Permainan musik klasik yang dapat diandalkan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari Popper. Banyak karya pemikiran Karl Popper dalam bidang filsafat, terutama teori falsifikasinya. Pemikiran falsifikasi Karl Pooper bertolak dari serangannya kepada kaum positivis yang memandang data-data empiris sebagai satu-satunya kriteria bagi ilmu pengetahuan. Kaum positivis karena itu beranggapan bahwa metode yang dipakai dalam ilmu pengetahuan adalah metode verifikasi. Verifikasi dalam arti mencari Fakta-fakta untuk mempertegas teori. Positivisme diklaim telah menjalar dalam lingkup praktik ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Karena itu, Popper melancarkan kritik terhadap praktik-praktik positivistis itu. 


Kritik yang Popper maksudkan ialah pendekatan rasional ilmiah untuk menguji sebuah anggapan dan hipotesis. Popper menggagas teori kritik ini dengan sebutan teori Falsifikasi. Teori ini digagas Popper dalam bukunya Logik der Forschung yang terbit tahun 1934. Teori ini membuat pembalikkan secara radikal atas tendensi positivisme yang cenderung mengagungkan verifikasi sebagai satu-satunya kriterium kebenaran ilmiah. Positivisme membuat distingsi antara pernyataan yang bermakna (meaningfull) dan tidak bermakna (meaningless). Pernyataan yang bermakna adalah pernyataan yang dapat di periksa kebenaranya secara empiris sesuai dengan fakta indrawi. Sedangkan pernyataan yang tidak bermakna adalah pernyataan yang tidak dapat diverifikasi secara empiris seperti pernyataan metafisis-filosofis. Menurut Popper, kriteria tunggal ilmu pengetahuan tidak cukup untuk membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan. Jika sebuah teori dapat dikritik dan diperiksa oleh orang lain, teori tersebut dapat dikatakan ilmiah. Dengan kata lain, ilmuwan harus menemukan kesalahan dalam gagasan mereka. Bagi Popper, jika semakin dikritik maka sebuah teori semakin rasional dan ilmiah. Prinsip keterbukaan justru membawa ilmu itu semakin dekat pada kebenaran. Berbeda dengan kaum positivistis, Popper menggunakan data empiris sebagai sarana kritik terhadap teori. Dia melihat kaum positivistis menggunakan data untuk mengkonfirmasi teori, meskipun ini tidak akurat dan bahkan salah karena kebenaran selalu terbuka terhadap kemungkinan kebenaran baru.


Pemikiran Popper Tentang Falsifikasi


Popper menggagas teori falsifikasi untuk menunjukkan bahwa pengalaman hanya berfungsi untuk menyangkal sebuah proposisi ilmiah. Falsifikasi sebagai sebuah sistem pengujian atas teori menunjukkan bahwa setiap proposisi ilmiah selalu memiliki kemungkinan untuk salah. Karena itu, secara lebih ekstrem, Popper mengatakan bahwa kemungkinan untuk salah adalah syarat yang harus dipenuhi oleh semua sistem teori. Namun, kemungkinan untuk salah berbeda dengan teori falsifikasi. Teori falsifikasi adalah sebuah langkah metodologis yang dilakukan dengan cara deduktif untuk menguji sebuah teori. Sedangkan kemungkinan untuk salah merupakan sebuah kriteria dari semua teori empiris.  Popper memakai istilah “Korborasi” untuk menyatakan sebuah proposisi ilmiah telah lulus dari kritik. Prinsip Falsifikasi adalah bahwa penerimaan terhadap sebuah hipotesis selalu bersifat sementara karena mesti ada langkah metodologis berikutnya untuk mengujinya. Semakin tahan uji atas kritik, semakin baik hipotesis tersebut. Karena itu, pengujian terhadap hipotesis mesti dilancarkan terus menerus. Namun, hal ini bukan berarti Popper menyangkal adanya kebenaran ilmiah. Popper tetap mengakui adanya kebenaran ilmiah tetapi kebenaran itu mesti terus diuji. Kebenaran ilmiah memang ada tetapi kita mesti terus menyaksikannya secara metodologis tanpa henti dengan mencari bukti untuk menyalahkannya. 


Relevansi Teori Karl Popper Tentang Falsifikasi Demokrasi Di Indonesia 


Sistem demokrasi Indonesia dan teori falsifikasi Popper berbagi paradigma. Corak ini menunjukkan bahwa teori falsifikasi dan demokrasi dalam penelitian ilmiah bergerak ke arah yang sama melawan keyakinan bahwa satu kebenaran benar dan mendorong kritik rasional untuk mendorong kemajuan. Fakta-fakta ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama dan terpenting, teori falsifikasi menganggap kritik sebagai "pisau bedah" untuk proposal ilmiah. Kritik adalah upaya untuk menentukan apakah sebuah proposal ilmiah. Dalam situasi seperti ini, nilai menjadi standar utama dalam ilmu pengetahuan. Kritik adalah ekspresi dari upaya untuk memenuhi keinginan masyarakat dalam demokrasi. Di sisi lain, musyawarah untuk mufakat adalah upaya untuk berdebat secara bersamaan di ruang publik. Ini memungkinkan diskusi rasional untuk menguji kebijakan umum. Sebenarnya, sangat penting bahwa upaya "tukar tambah" gagasan adalah sesuatu yang secara demokratis mutlak diperlukan. Menguraikan secara menyeluruh adalah penting. Kesimpulannya, kritik pada titik paling ekstrem adalah mencari kekurangan sebuah ide agar menjadi lebih logis dan dapat diterima. Ini menunjukkan bahwa kritik diperlukan untuk membantah secara radikal sebuah gagasan. Akibatnya, sebagai warga negara, kita harus bersikap kritis terhadap semua kebijakan publik. Kedua, bersama dengan kriterium kritik, proposal ilmiah harus diupayakan secara deduktif, seperti dalam teori falsifikasi. Cara kerja deduktif bertujuan untuk menguji teori dengan fakta empiris. Falsifikasi sama sekali tidak berusaha untuk mengamankan teori atau memverifikasinya. Dalam demokrasi pun, fakta empiris negara harus menjadi titik tolak untuk menguji setiap ide yang diucapkan di depan umum. Ini berarti bahwa setiap kebijakan harus didasarkan pada fakta-fakta yang ada. Bukan sebaliknya, kebijakan harus dibuat dan divalidasi oleh fakta. Konsep ini menunjukkan bahwa falsifikasi dan demokrasi sama. Dalam bagian ini demokrasi, diskusi publik bermula dari kenyataan. Kebijakan dibuat setelah diskusi tentang masalah nyata. Dalam demokrasi, masalah terbesar adalah menentukan kesimpulan sebelum diskusi dimulai. Hal ini biasanya terjadi karena kemabukan atas kebenaran-kebenaran parsial, seperti doktrin-doktrin agama. 


Doktrin agama sering dimasukkan ke ruang publik dan mensakralisasi semua percakapan. Doktrin agama dianggap sebagai kebenaran abadi yang dipaksakan untuk rujukan umum. Ini adalah kecenderungan umum. Oleh karena itu, ketika ada arus tandingan yang berusaha mengucapkan argumen rasional yang lebih akomodatif, perasaan agama cepat terbakar dengan alasan "agama dilecehkan". Ketiga, teori falsifikasi bertujuan untuk menunjukkan bahwa semua hipotesis ilmiah selalu memiliki kemungkinan membuat kesalahan. Semua peneliti berusaha menunjukkan titik kesalahan. Demokrasi memiliki kemungkinan untuk salah. Kebenaran tidak benar-benar tahan terhadap kritik. Pemerintahan demokratis selalu siap untuk dikritik karena mereka menyadari bahwa kesalahan selalu ada di dalamnya. Siapa pun dapat melakukan kesalahan kapan saja. Oleh karena itu, cara terbaik untuk menangani kesalahan adalah dengan selalu berusaha membuka diri untuk kritik. Beberapa pejabat publik di Indonesia sering tidak terpengaruh oleh kritik, meskipun kesalahan mereka sudah jelas. Ini adalah contoh praktik berdemokrasi di Indonesia. Selain itu, demokrasi diancam oleh upaya berkelit dan koncoisme di dalam rezim dan institusi. Keempat, falsifikasi menegaskan bahwa ilmu-ilmu empiris, metafisika, logika, dan matematika semuanya harus sesuai dengan metodenya sendiri, yang memungkinkan pemisahan antara pernyataan ilmiah dan non-ilmiah. Teori positivis sering membatasi pengetahuan hanya pada fakta empiris. Menurut Popper, itu terlalu dini karena setiap ilmu memiliki pendekatan unik. Teologi dan filsafat mendorong introspeksi yang lebih mendalam daripada introspeksi semata. Popper berpendapat bahwa kaum positivis terlalu ekstrem dalam membedakan pernyataan ilmiah dari non-ilmiah dengan hanya berfokus pada fakta empiris yang diamati. Menurutnya, hal itu terlalu prematur karena setiap ilmu memiliki pendekatan unik. 


Teologi dan filsafat mendorong introspeksi yang lebih mendalam daripada introspeksi semata. Popper berpendapat bahwa positivis terlalu ekstrim dalam memisahkan pernyataan ilmiah dari non-ilmiah dengan hanya berfokus pada fakta empiris. Surga-dunia kerap menjadi masalah pelik dalam negara demokrasi, terutama di Indonesia. Agama sering memasukkan klaim seperti ini. Dalam negara demokrasi, pembagian wilayah yang terlalu ketat akan menyebabkan masyarakat terpecah dan terpecah. Demarkasi yang berlebihan menyebabkan pandangan yang kurang menyeluruh tentang masalah publik. Ada kemungkinan bahwa falsifikasi dan sistem demokrasi Indonesia memiliki hal yang sama. Ideologi Pancasila yang mendasari demokrasi Indonesia memungkinkan pertumbuhan multikultutalisme. Keterbukaan berarti penghargaan terhadap warga negara lain. Falsifikasi juga berarti bahwa Anda siap untuk dikritik dan dikritik. Dengan demikian, falsifikasi cocok dengan demokrasi yang bernafaskan pancasila karena di mana anda terbuka untuk diuji dan mengakui kritik yang diberikan. Kehidupan nasional dan masyarakat pasti akan berkembang melalui kritik dan pengujian terus menerus. Menurut teori falsifikasi Karl Popper, upaya pendakuan kebenaran adalah cara terbaik untuk mencapai pengetahuan yang benar. Dalam konteks demokrasi, ini dianggap sebagai tindakan yang mencederai tatanan sosial-politik yang baik dan adil. Demokrasi tidak menginginkan keyakinan tentang kebenaran parsial. Kebenaran terus dicari melalui pengujian argumentatif. Salah satu cara untuk menolak demokrasi melawan prinsip ilmu pengetahuan adalah dengan mengakui kebenaran. Dengan demikian, falsifikasi dan demokrasi memiliki kenyataan. Dengan demikian, irrelevance dan kemerosotan filsafat dapat dipahami karena filsafat berfungsi sebagai dasar metodologis konseptual bagi demokrasi. Menurut kritik Popper terhadap positivisme, filsafat melampaui sekedar pengetahuan empiris indrawi untuk menguji dan memeriksa setiap masalah secara rasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Halaman