KARTINI Cermin Perjuangan Abadi Refleksi Kristen atas Luka dan Harapan Perempuan Masa Kini

Ket Foto : Margarita D.I. Ottu, S.Pd.,M.Pd.K.,M.Pd

Penulis : Margarita D. I. Ottu, S.Pd.,M.Pd.K.,M.Pd.

Tanggal 21 April, merupakan momen penting bagi bangsa Indonesia untuk mengenang sosok Raden Ajeng Kartini seorang perempuan ningrat Jawa yang dengan tajam melihat ketidakadilan yang menimpa kaumnya. Kartini, yang hidup di masa penjajahan Belanda, bukan hanya simbol emansipasi perempuan, tetapi juga suara nyaring yang memecah diam budaya patriarki kala itu. Namun pertanyaan penting yang perlu kita ajukan dalam setiap peringatan Hari Kartini adalah: apakah perjuangan Kartini sudah benar-benar selesai?

Lebih dari satu abad setelah Kartini menuliskan gagasan-gagasannya dalam surat kepada teman-teman Eropanya, perempuan Indonesia masih berada dalam bayang-bayang kekerasan, diskriminasi, dan marginalisasi. Emansipasi yang diperjuangkannya mungkin telah memberi hak pendidikan dan partisipasi publik bagi perempuan, tetapi sayangnya, perlindungan terhadap tubuh, martabat, dan keselamatan perempuan masih jauh dari kata aman.

Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri warisan Kartini, melihat realita kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masa kini, serta mencari makna baru perjuangan Kartini di tengah dunia yang terus berubah namun tetap menyisakan luka lama.

R.A. Kartini bukanlah perempuan biasa di masanya. Lahir dari kalangan priyayi pada 1879 di Jepara, Kartini terdidik secara tradisional namun juga mengalami pendidikan ala Eropa yang memperluas cakrawalanya. Dalam surat-suratnya yang kemudian dibukukan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menyuarakan kritik tajam terhadap budaya patriarki yang mengekang perempuan, sistem pendidikan yang tidak adil, hingga ketidaksetaraan sosial yang mencekik.

Kartini adalah pemikir visioner. Gagasannya tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan, tentang hak untuk bersuara, tentang kebebasan berpikir, dan tentang martabat kemanusiaan, jauh melampaui zamannya. Kartini tidak hanya menulis tentang impian, ia juga meletakkan fondasi bagi perjuangan panjang kesetaraan di Indonesia. Namun, Kartini juga manusia. Ia wafat di usia sangat muda, 25 tahun, hanya beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya. Ia tidak sempat menyaksikan perubahan yang ia impikan. Tapi semangatnya tidak padam ia menjadi simbol, menjadi nama sekolah, jalan, lembaga, hingga hari peringatan nasional. Lalu, bagaimana nasib perempuan Indonesia kini, di zaman digital, demokrasi, dan globalisasi?

Potret Kekerasan terhadap Perempuan Indonesia Saat Ini

Indonesia mungkin telah menghasilkan menteri-menteri perempuan, aktivis-aktivis hebat, dan wirausahawati sukses. Tapi angka-angka tak bisa dibohongi bahwa perempuan Indonesia masih berada dalam ancaman kekerasan.

Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Relasi Pribadi; Data dari Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2024 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) menjadi salah satu bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan, mencakup kekerasan fisik, seksual, psikologis, hingga ekonomi. Mirisnya, pelaku sering kali adalah orang terdekat: suami, pasangan, atau anggota keluarga.

Kekerasan Seksual dan Budaya Diam; Masih banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan karena budaya victim-blaming (menyalahkan korban), ketakutan akan stigma, atau kurangnya sistem hukum yang berpihak. Walaupun RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) akhirnya disahkan tahun 2022, implementasi di lapangan masih menemui banyak tantangan seperti aparat belum sensitif gender, proses hukum lamban, hingga rendahnya pendampingan terhadap korban.

Pelecehan di Ruang Publik dan Digital; Ruang publik dan digital yang seharusnya menjadi tempat bebas berekspresi justru kerap menjadi medan kekerasan baru. Perempuan mengalami pelecehan di transportasi umum, tempat kerja, media sosial, bahkan saat bersuara secara politis. Banyak perempuan yang dibungkam karena dianggap “terlalu vokal”, “tidak sopan”, atau “tidak tahu tempat”.

Perempuan dalam Situasi Krisis; Di tengah bencana alam, konflik sosial, dan krisis ekonomi, perempuan sering kali menjadi kelompok paling rentan. Dalam pengungsian, mereka mengalami kekurangan akses ke sanitasi layak, bantuan kesehatan reproduksi, hingga kekerasan berbasis gender yang tak tercatat. Begitu pula dalam situasi bencana alam, banyak perempuan kehilangan pekerjaan, mengalami beban ganda, hingga meningkatnya KDRT.

Kartini mengajarkan bahwa akar dari ketidakadilan adalah ketidaktahuan dan pembiaran. Kekerasan terhadap perempuan bertahan karena Budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat, Kurangnya pendidikan kesetaraan gender sejak usia dini, Sistem hukum yang lemah dan belum sepenuhnya berpihak pada korban, Minimnya layanan pendampingan psikologis, hukum, dan rehabilitasi, Normalisasi kekerasan dalam media, agama, dan adat.

Dengan kondisi ini, emansipasi ala Kartini belum benar-benar menyentuh akar masyarakat luas. Hak untuk sekolah dan bekerja memang penting, tapi hak untuk hidup tanpa kekerasan adalah fondasi paling dasar dari kemanusiaan.

Dalam konteks modern, perjuangan Kartini tak bisa dibatasi hanya pada akses pendidikan dan pekerjaan. Kita juga perlu memperluas makna emansipasi adalah hak untuk aman, hak untuk didengar ketika menjadi korban, hak untuk menentukan pilihan tanpa paksaan, dan membongkar budaya yang meromantisasi pengorbanan perempuan.

Kita harus berhenti memuja “perempuan kuat yang tahan banting” dan mulai menciptakan sistem yang tidak membiarkan perempuan terus-menerus menjadi korban.

Perspektif Kristen; Martabat dan Keadilan yang Dikehendaki Allah

Dalam terang iman Kristen, perjuangan Kartini bukan hanya perjuangan sosial, tetapi juga spiritual. Kitab Kejadian 1:27 menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, menurut gambar-Nya. Martabat perempuan bukanlah pemberian budaya, melainkan hak ilahi. Yesus Kristus, dalam pelayanannya di dunia, memberi teladan paling radikal tentang bagaimana perempuan diperlakukan. Ia berbicara dengan perempuan Samaria (Yohanes 4), menyembuhkan perempuan yang sakit, dan pertama kali menampakkan diri setelah kebangkitan kepada seorang perempuan yaitu Maria Magdalena (Yohanes 20:11-18).

Dalam Galatia 3:28 ditegaskan, “Di dalam Kristus tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu.” Inilah dasar iman kita bahwa kesetaraan gender bukan sekadar wacana, melainkan kehendak Allah sendiri. Maka, setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap gambar dan kehendak Allah.

Gereja dan umat Kristen dipanggil menjadi pembela mereka yang lemah dan tertindas (Mazmur 82:3-4). Ketika perempuan disakiti dan dibungkam, tubuh Kristus pun menderita. Bagaimana kita, sebagai umat Kristen, bisa meneruskan perjuangan ini?

Mendidik Generasi dengan Nilai Kesetaraan yaitu ajarkan pada anak-anak bahwa setiap manusia, laki-laki maupun perempuan, diciptakan setara di mata Tuhan. Ajarkan tentang batas tubuh, hormat pada sesama, dan cinta kasih sejati; Menjadi Pendengar yang Tidak Menghakimi yakni di saat seorang perempuan datang dengan luka, jangan tergesa-gesa menghakimi. Dengarkan seperti Kristus mendengarkan, tanpa syarat dan dengan penuh belas kasih; Mengoreksi Budaya dan Lelucon Seksis yaitu jangan biarkan candaan yang merendahkan perempuan menjadi hal biasa. Berdirilah sebagai saksi kebenaran, bahkan di ruang-ruang kecil; Mengadvokasi Kebijakan yang Berkeadilan Gender yaitu mendorong gereja, sekolah, dan komunitas Kristen untuk peka terhadap isu-isu perempuan. Libatkan perempuan dalam kepemimpinan, dan pastikan ruang aman diciptakan bagi semua; Mendoakan dan Mendampingi Korban Kekerasan yaitu jadilah sahabat yang hadir. Doa tidak menggantikan keadilan, tetapi menjadi kekuatan rohani untuk menyembuhkan dan memperjuangkan kebenaran.

Di tengah luka, harapan tidak mati. Banyak perempuan masa kini yang menjadi Kartini baru. Mereka adalah aktivis, pengacara, jurnalis, guru, buruh migran, bahkan ibu rumah tangga yang bersuara melawan kekerasan. Mereka menolak diam, contohnya, para penyintas kekerasan seksual yang berani bersuara di media sosial melalui gerakan #MeToo dan #NamaBaikKorban. Mereka membayar harga mahal: dicaci, diancam, ditinggalkan. Tapi suara mereka menggema, membangunkan masyarakat yang terlalu lama tertidur. Ada pula komunitas-komunitas perempuan yang mendampingi korban di pelosok desa, mendirikan rumah aman, dan memperjuangkan keadilan di ruang-ruang hukum. Mereka adalah Kartini hari ini yang tidak hanya menulis, tapi bertindak.

Setiap kita bisa menjadi bagian dari perubahan, dengan langkah-langkah sederhana namun bermakna diantaranya Mendidik anak-anak sejak dini tentang kesetaraan, rasa hormat, dan batasan tubuh; Mendengarkan korban tanpa menghakimi atau membandingkan pengalaman mereka; Mengawasi kebijakan publik dan menuntut negara untuk memberikan perlindungan nyata; Menolak lelucon seksis, iklan yang merendahkan perempuan, dan praktik media yang menyudutkan korban; Mendukung organisasi dan gerakan perempuan yang bekerja di garis depan.

Dari Gelap Menuju Terang yang Sebenarnya

Kartini menulis: “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Tapi terang yang ia maksud bukan sekadar sinar mentari. Terang itu adalah kesadaran kolektif bahwa perempuan berhak atas hidup yang utuh yaitu utuh tubuhnya, utuh suaranya, utuh pilihannya. Kekerasan terhadap perempuan bukan takdir budaya. Ia adalah hasil dari sistem yang bisa diubah. Dan perubahan itu dimulai dari kita semua: dari rumah, dari sekolah, dari kebijakan, dan dari hati yang mau mendengar. Hari Kartini bukan sekadar mengenang. Ia adalah panggilan untuk meneruskan perjuangan yang belum selesai. Dan selama masih ada perempuan yang disakiti, Kartini belum selesai bicara.

Perjuangan Kartini belum selesai, karena masih banyak perempuan yang mengalami diskriminasi, kekerasan, dan keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pelayanan kesehatan. Bahkan dalam lingkungan gereja, seringkali perempuan masih dibatasi perannya hanya dalam lingkup tertentu. Padahal, sejarah gereja pun mencatat banyak perempuan yang memainkan peran penting dalam pelayanan, seperti Maria, Marta, Lydia, hingga Priskila, dan Akwila (Lukas 1:38; Yohanes 20:16-18; Lukas 10:38-42; Yohanes 11:27; Kisah Para Rasul 16:14-15; Kisah Para Rasul 18:26; Roma 16:3-4). Keempat tokoh ini menunjukkan bahwa perempuan sejak gereja mula-mula memiliki peran penting dalam pelayanan, penginjilan, pengajaran, dan kesaksian iman. Mereka bukan hanya pelengkap, tetapi mitra sejajar dalam tubuh Kristus.

Gereja masa kini dipanggil untuk melanjutkan semangat Kartini dan menghidupkan kembali panggilan pelayanan perempuan sebagai mitra sejajar dalam membangun tubuh Kristus. Perempuan tidak hanya berperan sebagai pengasuh atau pendamping, tetapi juga sebagai pemimpin, pengajar, dan pembaharu. Dalam keluarga Kristen, kesetaraan antara suami dan istri harus diwujudkan dalam relasi yang saling menghormati dan mengasihi, sebagaimana Kristus mengasihi jemaat-Nya (Efesus 5:25-33). Dalam masyarakat, perempuan Kristen dipanggil untuk menjadi garam dan terang, mewujudkan keadilan dan kasih dalam setiap bidang kehidupan: pendidikan, politik, ekonomi, hingga lingkungan sosial.

Mengingat kembali sosok Kartini berarti juga mengingat panggilan iman kita untuk memperjuangkan martabat manusia, khususnya mereka yang terpinggirkan. Perempuan-perempuan Kristen masa kini tidak lagi dipingit seperti Kartini, tetapi mereka tetap menghadapi tantangan zaman yang kompleks seperti pornografi, perdagangan manusia, standar kecantikan yang menyesatkan, hingga tekanan untuk selalu tampil sempurna.

Dalam terang iman Kristen, kita semua baik laki-laki maupun perempuan dipanggil untuk menjadi pembebas seperti Kristus, membawa terang di tengah kegelapan dan menyuarakan harapan bagi mereka yang tertindas. Perjuangan Kartini menjadi inspirasi bagi semua orang percaya untuk menjalankan iman yang aktif, iman yang tidak diam terhadap ketidakadilan, dan iman yang berbuah dalam kasih dan pelayanan.

Hari Kartini bukan sekadar momen untuk mengenang jasa seorang tokoh perempuan dalam sejarah bangsa. Lebih dari itu, ini adalah saat yang tepat untuk merefleksikan kembali perjuangan panjang menuju keadilan dan kesetaraan yang sejati. Dalam terang iman Kristen, perjuangan itu sejalan dengan misi Kristus di dunia yaitu membebaskan yang tertindas, mengangkat yang terpinggirkan, dan menyatakan bahwa setiap manusia berharga di mata Tuhan. Di antara lembaran sejarah bangsa, nama Kartini hadir bukan sekadar sebagai catatan biografis, melainkan gema dari sebuah jiwa yang menolak tunduk pada gelapnya ketidakadilan. Ia adalah cahaya yang memancar dari balik tembok pingitan, menyusuri batas-batas patriarki dengan pena, gagasan, dan keberanian yang melampaui zamannya. Namun, cahaya itu belum sepenuhnya menembus relung-relung kehidupan perempuan masa kini. Luka masih menganga, dalam bentuk kekerasan, marginalisasi, dan pembungkaman yang terus membayangi tubuh dan suara perempuan Indonesia.

Dalam narasi yang lebih dalam, kita diajak merefleksikan kembali semangat Kartini melalui perpektif iman Kristen yakni sebuah iman yang meyakini bahwa Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, segambar dengan-Nya (Kej. 1:27), dan bahwa setiap kehidupan perempuan mengandung nilai ilahi yang tak ternilai. Maka, Hari Kartini bukan hanya tentang mengenang seorang tokoh, tetapi juga tentang menyimak bisikan ilahi yang memanggil kita untuk membela yang tertindas, menyembuhkan yang terluka, dan menyalakan kembali harapan dalam terang kasih Kristus. Tulisan ini hendak menelusuri jejak perjuangan itu dari terang Kartini hingga terang Kristus yang membebaskan.

Mari kita lanjutkan semangat Kartini dengan menjadi pribadi-pribadi yang membawa terang, memperjuangkan kasih, dan tidak tinggal diam terhadap ketidakadilan. Sebab dalam Kristus, setiap orang termasuk perempuan dipanggil untuk menjadi terang dunia dan garam bumi.

Selamat Hari Kartini. Mari kita jaga cahaya itu tetap menyala di tubuh dan hidup perempuan Indonesia hari ini. Terang Kristus menyertai setiap langkah perjuangan menuju keadilan dan pemulihan.


Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2020 soepost.com ™ Member Of Kupang Online Network ®