Penulis: Margarita Ottu, M.Pd.K., M.Pd.
Paskah Sebagai Inti Iman Kristen
Paskah bukan sekadar sebuah perayaan keagamaan yang diulang setiap tahun, melainkan sebuah peristiwa monumental yang menjadi inti dari iman Kristen. Dalam peristiwa penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus, kita menemukan esensi terdalam dari kasih Allah kepada manusia. Peristiwa ini tidak hanya berdampak pada dimensi spiritual, tetapi juga menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia: emosional, sosial, dan eksistensial. Paskah menjadi momen refleksi yang mendalam akan makna keselamatan dan pemulihan yang bersumber dari kasih Allah yang tidak terbatas.
Kitab Markus 15:20b–41 memberikan gambaran yang sangat menyentuh tentang penderitaan Kristus. Di situ, Yesus ditelanjangi, dipakaikan mahkota duri, dipukul, diludahi, dan akhirnya disalibkan. Ini bukan hanya kisah tragis tentang penderitaan seorang manusia, melainkan ungkapan kasih Allah yang mendalam yang menyatu dengan penderitaan umat-Nya.
Penderitaan Kristus merupakan simbol Kasih yang tak terbatas
Ketika Yesus disalibkan, Ia tidak hanya mengalami penderitaan fisik, tetapi juga penderitaan emosional dan spiritual yang dalam. Teriakan-Nya di kayu salib, "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?" (Markus 15:34), adalah ungkapan keterpisahan dari Bapa, sebuah penderitaan yang begitu menyayat. Dalam seruan itu, kita melihat bahwa Yesus tidak hanya mati bagi kita, tetapi Ia juga masuk sepenuhnya ke dalam penderitaan manusia. Ia hadir di tengah kepedihan, kesepian, dan rasa kehilangan yang sering kali kita alami sebagai manusia.
Kasih yang menyelamatkan bukanlah kasih yang steril dan jauh dari realitas, melainkan kasih yang menanggung, merasakan, dan mengalami. Dalam salib Kristus, kasih itu menjadi nyata. Yesus menjadi solidaritas ilahi dengan penderitaan manusia. Tidak ada bentuk kasih yang lebih besar daripada memberikan nyawa untuk sahabat-sahabat-Nya (Yohanes 15:13). Itulah yang Yesus lakukan di Golgota, kasih yang inkarnatif dan penuh pengorbanan.
Salib bukanlah simbol kekalahan, tetapi kemenangan.
Salib kerap kali dipandang sebagai lambang kekalahan atau kelemahan. Namun bagi orang percaya, salib adalah simbol kemenangan. Rasul Paulus menegaskan dalam 1 Korintus 1:18 bahwa “salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan, salib adalah kekuatan Allah.” Di kayu salib, penghalang antara Allah dan manusia dihancurkan. Ketika tabir Bait Suci terbelah dua (Markus 15:38), itu menandakan bahwa akses langsung kepada Allah telah terbuka untuk semua orang.
Paskah, dengan seluruh rangkaian salib dan kebangkitan, menunjukkan bahwa Allah tidak tinggal diam melihat penderitaan dunia. Ia turun tangan, secara harfiah, melalui pribadi Yesus Kristus. Inilah misteri kasih yang menyelamatkan. Allah memilih jalan penderitaan untuk menyelamatkan umat-Nya. Ini bukan kasih yang lemah, tetapi kasih yang berani dan menebus.
Makna paskah dalam konteks dunia masa kini dapat dilihat bahwa
di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, bencana yang meluluhlantakkan banyak manusia, perang dan konflik yang tak kunjung usai, krisis iklim yang mengancam keberlangsungan hidup, serta luka-luka sosial dan spiritual yang terus terbuka maka makna Paskah semakin relevan dan dibutuhkan. Banyak orang hidup dalam ketakutan, kesendirian, dan kehilangan makna hidup.
Paskah menjadi jawaban atas kerinduan manusia akan pengharapan. Di tengah dunia yang terfragmentasi, kasih Kristus menyatukan. Di tengah kehampaan dan kekeringan spiritual, kebangkitan-Nya membawa kehidupan baru. Ia tidak hanya menyelamatkan jiwa, tetapi memulihkan totalitas kehidupan manusia. Pemulihan ini mencakup dimensi relasional antara manusia dengan Allah, manusia dengan sesama, bahkan manusia dengan dirinya sendiri dan alam ciptaan.
Dalam kehidupan yang sering kali menuntut dan penuh tekanan, banyak orang kehilangan arah dan identitas. Mereka mencari makna dalam kekayaan, status, teknologi, dan hiburan, namun tetap merasa kosong. Paskah mengingatkan bahwa makna sejati hanya ditemukan dalam perjumpaan dengan kasih Allah yang menyelamatkan. Paskah menawarkan identitas baru yaitu sebagai anak-anak Allah yang ditebus dan diutus untuk membawa terang kasih-Nya ke tengah dunia.
Tantangan Hidup Kristen di Era Digital dan Globalisasi menghadirkan dinamika baru dalam kehidupan manusia. Arus informasi yang cepat dan budaya instan sering kali menjauhkan manusia dari nilai-nilai spiritual. Di tengah segala kemajuan teknologi, manusia semakin terasing secara rohani. Budaya selfie, pencitraan, dan konsumsi berlebihan sering menggantikan nilai-nilai kekudusan, kerendahan hati, dan pelayanan.
Paskah menantang umat Kristen untuk tidak larut dalam arus dunia, tetapi menjadi saksi kasih yang otentik. Dalam 1 Yohanes 4:19, dikatakan bahwa “kita mengasihi karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita.” Kasih yang menyelamatkan tidak berhenti pada pengalaman pribadi, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata yakni mengasihi sesama, memperjuangkan keadilan, dan merawat ciptaan.
Umat Kristen dipanggil menjadi terang dan garam dunia (Matius 5:13-14). Dalam konteks ini, makna Paskah bukan hanya perayaan liturgis, tetapi panggilan hidup. Hidup baru yang telah dianugerahkan harus diwujudkan dalam perilaku yang mencerminkan kasih Kristus baik di dunia nyata maupun digital. Dunia membutuhkan lebih banyak kesaksian kasih, bukan sekadar khotbah tanpa tindakan.
Hidup baru dalam Kasih Kristus terwujud dalam
Paskah yang adalah undangan untuk mengalami transformasi hidup. Kebangkitan Kristus bukan hanya peristiwa sejarah, melainkan kekuatan yang mengubahkan hidup kita hari ini. Dalam Roma 6:4, Paulus berkata bahwa “seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.”
Hidup baru ini menuntut pertobatan dari cara hidup yang lama. Egoisme, ketidakpedulian, dan kebencian harus digantikan oleh belas kasih, keadilan, dan pengampunan. Dalam Kristus, kita dipanggil menjadi duta-duta pendamaian (2 Korintus 5:18-20). Setiap orang Kristen adalah agen perubahan yang membawa damai di tengah dunia yang penuh konflik dan ketegangan.
Pemulihan melalui Kristus juga membawa harapan konkret bahwa setiap aspek hidup dapat dipulihkan. Relasi yang retak bisa dipersatukan, luka batin bisa disembuhkan, bangsa yang porak-poranda bisa dibangun kembali jika kasih Kristus menjadi dasar.
Paskah menjadi momentum refleksi dan pembaruan dan
Lebih dari sekadar tradisi, Paskah adalah kesempatan untuk merenung dan memperbaharui diri. Ini adalah momen untuk bertanya, Apakah hidup saya mencerminkan kasih Kristus? Apakah saya sudah menjadi saluran kasih-Nya bagi orang lain? Apakah saya memperjuangkan keadilan, melayani dengan tulus, dan hidup dalam integritas?
Dalam Paskah, kita diajak untuk kembali kepada inti Injil bahwa kasih yang menyelamatkan. Kasih itu bukan hanya untuk dinikmati, tetapi untuk dibagikan. Dunia yang penuh kebencian dan polarisasi menantikan kehadiran orang-orang yang hidup dalam kasih Kristus. Gereja bukan hanya tempat ibadah, tetapi komunitas kasih yang menyatakan Injil melalui pelayanan nyata.
Dengan demikian kasih yang menghidupkan dunia hanya
di dalam Kristus. Kita menemukan kasih yang menyelamatkan, kasih yang tidak mengenal batas, kasih yang menanggung, kasih yang menghidupkan. Paskah adalah undangan ilahi untuk masuk dalam hidup baru yang penuh pengharapan, damai, dan kasih yang tak tergoyahkan.
Kiranya setiap perayaan Paskah menjadi momentum untuk memperdalam iman, memperluas kasih, dan memperbarui komitmen kita kepada Tuhan dan sesama. Mari kita menjadi pembawa damai, pemulih relasi, dan saksi kasih di tengah dunia yang haus akan pengharapan sejati.
Di tengah krisis dan ketidakpastian, kasih Kristus tetap menjadi jangkar yang kokoh di tengah kekelaman zaman.
Selamat merayakan Paskah, kiranya melalui penderitaan dan kematian-Nya, Yesus telah memulihkan kita, membawa kita kembali kepada Bapa, dan mengajak kita untuk menjadi saksi kasih-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam salib dan kebangkitan-Nya, kita menemukan harapan, keselamatan, dan kehidupan yang sejati.